Jakarta – Victor Mambor, seorang wartawan kelahiran Muara Enim, Sumatra, yang sering meliput diskriminasi terhadap orang asli Papua, dan memimpin Tabloid Jubi, sebuah web berita serta koran harian di Papua, meraih Penghargaan Oktovianus Pogau dari Yayasan Pantau, untuk keberanian dalam jurnalisme.
“Keputusan Victor Mambor buat pulang ke tanah kelahiran bapanya, dan membela hak orang asli Papua, lewat jurnalisme,serta tabah hadapi intimidasi demi intimidasi, membuat para juri sepakat bahwa dia sebuah keberanian dalam jurnalisme,” kata Andreas Harsono dari Yayasan Pantau.
Nama Victor Mambor belakangan sering disebut media sesudah sebuah bom diledakkan di luar rumahnya pada 23 Januari 2023 di Jayapura. Mambor menduga intimidasi ini dilakukan sehubungan dengan liputan Jubi terhadap pembunuhan dan mutilasi empat orang asli Papua asal Nduga di Timika pada Oktober 2022.
Ada empat tentara yaitu Pratu Rahmat Amin Sese, Pratu Risky Oktaf Muliawan, Pratu Robertus Putra Clinsman, dan Praka Pargo Rumbouw yang didakwa melakukan “pembunuhan berencana,” kini diadili di Timika.
Putra pasangan Rachmawati Saibuna dan John Simon Mambor, seorang penyair asal Pulau Biak, serta tokoh Presidium Dewan Papua, yang meninggal sebagai tahanan politik di Jakarta pada 2003 dalam usia 55 tahun. Ketua Presidium Theys Eluay, rekan John Mambor, dibunuh sekelompok tentara Indonesia pada November 2004 di Sentani, Papua.
Victor Mambor besar di Muara Enim hingga lulus SMAN1. Pada 1992, dia pindah ke Bandung, kuliah belakangan bekerja sebagai wartawan harian Pikiran Rakyat. Di Bandung, dia mendapatkan mentor Suyatna Anirun, seorang aktor dan sutradara dari Studi Klub Teater Bandung.
Pada 2004, sepeninggal ayahnya, Victor Mambor muda memutuskan bekerja sebagai wartawan di Jayapura. Dia diangkat sebagai redaktur Jubi, belakangan jadi pemimpin umum, dan mengembangkan media tersebut ke medium televisi dan memakai drone.
Dalam blognya, Victor Mambor menaruh berbagai naskah penting yang dibuat atau diterjemahkannya antara 2005 dan 2017 termasuk soal penculikan terhadap anak-anak Papua guna dibawa ke Pulau Jawa maupun kritiknya terhadap perspektif wartawan Jakarta, yang hanya bicara soal nasionalisme Indonesia terhadap Papua.
Pada Mei 2015, Victor Mambor wawancara Presiden Joko Widodo di Merauke, soal pembatasan terhadap wartawan asing buat masuk ke Papua sejak 1967. Jokowi menjawab bahwa semua wartawan asing bebas masuk ke Papua tanpa pembatasan. Ironisnya, sampai hari ini, pernyataan Presiden Jokowi belum jadi kenyataan. Wartawan asing masih dibatasi masuk ke kawasan Papua.
Pada 2019, bersama beberapa wartawan di negara-negara kepulauan Pasifik, dia mendirikan Melanesia Media Freedom Forum. Mambor juga meningkatkan liputan terhadap Jubi wilayah Pasifik, sesuatu yang natural buat media Papua, serta bekerja sama dengan berbagai media seperti Radio New Zealand, Solomon Star, Vanuatu Daily, Melanesia News, Fiji Times, Islands Business, Cook Islands News, Post Courier, dan Marshall Islands Journal.
Victor Mambor merupakan salah satu dari tiga produser video investigasi berjudul “Selling Out West Papua” yang disiarkan oleh stasiun televisi Al Jazeera pada Juni 2020. Ia berkolaborasi dengan Mongabay, The Gecko Project dan Korea Centre for Investigative Journalism. Isinya, soal bagaimana sebuah perusahaan Korea Selatan, Korindo, merampas lahan dan merusak hutan Papua. Ia dapat penghargaan Wincott Award for Video Journalism.
Pada 21 Mei 2021, Mambor diintimidasi. Kaca mobilnya dipecah, pintu dicoret-coret dengan cat semprot, saat parkir malam depan rumahnya di Jayapura. Polisi sampai saat ini belum menemukan pelaku vandalisme ini.
Pada September 2021, António Guterres, Sekretaris Jenderal Perserikatan Bangsa-bangsa, mengeluarkan laporan tahunan soal kerja sama internasional dalam bidang hak asasi manusia. Guterres menyebut Victor Mambor sebagai satu dari lima pembela hak asasi manusia yang sering mengalami intimidasi, pelecehan dan ancaman dalam meliput provinsi Papua dan Papua Barat.
Yayasan Pantau menyerukan kepolisian Indonesia, terutama di Papua, buat menjaga keselamatan Victor Mambor, dan mencari orang-orang yang merusak mobilnya maupun meletakkan bom depan rumahnya.
Sebagai orang dengan mama Palembang, bapa Papua, Mambor berada pada dua posisi, Indonesia maupun Papua, buat melihat pelanggaran hak asasi dan perusakan lingkungan hidup di Papua. Mambor sering mengutip ucapan bapanya, “Berbanggalah kalian sebagai orang Papua yang tidak pernah mengemis di atas tanahnya yang kaya raya.”
Di Papua, Victor Mambor juga sering dituduh tak membela para pendatang, warga Indonesia dari luar Papua, yang mendatangi Papua sejak 1960an. Mambor pernah menulis di Facebook, “Ibu saya orang Sumatera, istri saya orang Sumatera, di tempat kerja saya lebih banyak yang bukan OAP (Orang Asli Papua) daripada OAP. Kami kerja dengan rukun, tidak ada perlakuan yang berbeda. Apakah saya rasis dan diskriminatif ketika saya bersikap terus terang untuk memperjuangkan hak-hak Orang Asli Papua?”
Victor Mambor tentu saja mengenal almarhum Oktovianus Pogau. Ketika Pogau meninggal pada 31 Januari 2016, Mambor menulis, “Oktovianus Pogau bukan sekadar teman dan adik buat saya. Dia adalah tandem sekaligus rival buat saya. Dia adalah ‘otak kiri’ saya dalam dunia jurnalistik. Dia adalah ‘separuh jiwa’ saya dalam dunia jurnalistik. Dia tak ada bandingnya. Dia tak ada tandingnya. Dia membuka lebar mata banyak orang tentang apa yang sebenarnya terjadi di Papua. Dia pantas dikenang sebagai pejuang pembebasan, karena dia adalah legenda.”
Andreas Harsono mengatakan, “Victor Mambor bukan saja mengenal dekat Oktovianus Pogau, namun ikut mendukung dan meneruskan cita-cita Pogau soal tanggungjawab wartawan –wartawan asli Papua, wartawan Indonesia maupun wartawan internasional– seharusnya berani memberitakan apa yang terjadi di Papua.”
Tentang Penghargaan Pogau
Nama Oktovianus Pogau, diambil dari nama seorang wartawan-cum-aktivis Papua, lahir di Sugapa, pada 5 Agustus 1992. Pogau meninggal usia 23 tahun di Jayapura. Penghargaan ini diberikan setiap tahun guna mengenang keberanian Pogau.
Pada Oktober 2011, Pogau melaporkan kekerasan terhadap ratusan orang asli Papua ketika berlangsung Kongres Papua III di Jayapura. Dia merekam suara tembakan. Tiga orang Papua meninggal dan lima dipenjara dengan vonis makar. Tak ada satu pun aparat Indonesia diperiksa dan dihukum. Kegelisahan karena tak banyak media Indonesia memberitakan pelanggaran tersebut mendorong Pogau bikin Suara Papua pada 10 Desember 2011.
Pogau juga dipukuli polisi ketika meliput demonstrasi di Manokwari pada Oktober 2012. Pogau juga menulis pembatasan wartawan internasional meliput di Papua Barat sejak 1965. Dia juga protes pembatasan pada wartawan Papua maupun digunakannya pekerjaan wartawan buat kegiatan mata-mata.
Pogau seorang penulis sekaligus aktivis yang menggunakan kata-kata untuk berdiskusi dan mengasah gagasan-gagasan politiknya. Pilihan ini sering membuat Pogau menghadapi masalah. Dia bersimpati kepada Komite Nasional Papua Barat, organisasi pemuda Papua, yang menggugat penguasaan Indonesia terhadap Papua Barat. Dia pernah menjadi anggota organisasi ini –ketika kuliah di Universitas Kristen Indonesia di Jakarta– namun sadar bahwa dia harus menjaga independensi.
Pogau juga sering menulis pembatasan wartawan internasional meliput di Papua Barat dan bantu menerjemahkan laporan Human Rights Watch pada 2015, “Sesuatu Yang Disembunyikan: Pembatasan Indonesia terhadap Kebebasan Media dan Pemantauan Hak Asasi Manusia di Papua.”
Dia juga protes pembatasan pada wartawan Papua maupun digunakannya pekerjaan wartawan buat kegiatan mata-mata. Ia secara tak langsung membuat Presiden Joko Widodo pada Mei 2015 minta birokrasi Indonesia hentikan pembatasan wartawan asing meliput Papua Barat. Sayangnya, perintah Jokowi belum dipenuhi total.
Keberanian dalam jurnalisme serta keberpihakan pada orang yang dilanggar hak mereka membuat Yayasan Pantau menilai Oktovianus Pogau sebagai model bagi wartawan Indonesia yang berani dalam meliput pelanggaran hak asasi manusia maupun pengrusakan lingkungan hidup. Penghargaan ini diberikan setiap tahun sejak Januari 2017.
Juri Penghargaan Pogau terdiri dari Harsono (Jakarta), Alexander Mering (Pontianak, Bogor), Coen Husain Pontoh (New York, Bolaang Mongondow), Made Ali (Pekanbaru), dan Yuliana Lantipo (Jayapura). (Engelbeth Wally/Jubi)