Atas nama konstitusi itu pula, maka daerah – termasuk Provinsi Papua –mengambil prakarsa kemanusiaan dengan cara memberlakukan lockdown. Di satu sisi, Papua untuk sementara waktu memang harus menutup pintu keluar-masuk dari dan atau ke Papua. Maka, bandara di tengah Papua menjadi gerbang strategis untuk mencegah arus keluar dan masuk dari dan atau ke Papua.
Pemerintah Provinsi Papua – apalagi kini sudah ada 7 (tujuh) orang yang positif terpapar covid-19 tentu wajib, setidaknya harus terpanggil untuk mencegah potensi penyebaran virus pandemi itu.
Dalam kaitan itu, kebijakan Pemerintah Provinsi Papua tidak boleh dilihat sebagai kebijakan yang berseberangan dengan Pemerintah Pusat-karena sampai detik ini tidak memberlakukan lockdown secara nasional. Bagi Pemerintah Provinsi Papua – kebijakan lockdown tentu dilihat dari sisi keterpanggilan kemanusiaan. Atas nama harkat manusia yang harus dihargai, maka lockdown di Papua harus diberlakukan.
Menurut penulis, menekankan aspek kemanusiaan lebih utama dibanding harus tunduk dengan kebijakan Pemerintah Pusat dalam mengatasi covid-19 di Papua. Dalam menghadapi covid-19 yang pandemi saat ini bukan saatnya bicara sesuatu yang bersifat politis sempit.
Justru, yang jauh menjadi keterpanggilan utama adalah sisi kemanusiaan, yang harus diperjuangkan bersama-sama dan bahu-membahu, bukan agenda politis sempalan yang justru paradoks atau antagonis dengan prinsip-prinsip kemanusiaan. Dan satu hal yang harus kita pegang teguh bersama, artikulasi kebijakan lockdown – meski terbatas – adalah manifestasi penjabaran konstitusi. Bobot nilainya jauh lebih agung dan mulia di mata umat manusia dan Sang Pemilik Jagat Raya ini, Allah.