Jayapura – Ketua Kelompok Khusus DPR Papua, Jhon NR Gobai menilai, meski Presiden RI Joko Widodo telah menerbitkan Keputusan Presiden (Keppres) Nomor 17 Tahun 2022 tentang Pembentukan Tim Penyelesaian Non-Yudisial Pelanggaran HAM Berat Masa Lalu, namun pihaknya masih menganggap jika hal itu belum tepat.
Menurut legislato Papua itu, bahwa pembentukan Tim PPHAM berat masa lalu itu, cocok diberlakukan untuk di luar Tanah Papua, namun di Papua harus dibentuk Komisi Kebenaran dan Rekonsiliasi (KKR) dan Pengadilan HAM Ad Hoc.
“Jadi untuk Tanah Papua, sesuai UU Otsus Nomor 2 Tahun 2021, maka harus dibentuk KKR dan Pengadilan HAM Ad Hoc di Tanah Papua,” kata Jhon Gobai kepada wartawan di Jayapura, Kamis, 22 September 2022.
Oleh karena itu, kata Gobai, dalam pembentukan KKR dan Pengadilan HAM Ad Hoc di Tanah Papua itu, ia meminta Presiden RI harus menerbitkan Peraturan Presiden (Perpres). Apalagi, sejak diberlakukan UU Otsus tahun 2001, KKR dan Pengadilan HAM Ad Hoc yang menjadi amanah UU Otsus itu, hingga kini belum terbentuk sama sekali.
Untuk itu, Jhon Gobai yang juga merupakan Anggota Komisi II DPR Papua ini mengingatkan bahwa pelanggaran HAM di Tanah Papua semakin eksis terjadi dan dilakukan oleh aparat keamanan sejak tahun 1961 dengan berbagai nama Sandi Operasi.
“Operasi ini telah memunculkan dendam dan sakit hati orang Papua serta telah membakar semangat disintegrasi di Papua, semua yang terjadi itu hanya untuk mempertahankan jargon NKRI harga mati,” cetusnya.
Namun pada saat yang sama lanjut Gobai telah menumbuhkembangkan semangat Papua Merdeka harga mati, sehingga kasus-kasus kekerasan ini telah menjadi memoria pasionis Orang Papua sampai hari ini.
Menurutnya, dengan hadirnya UU Otsus Nomor 21 Tahun 2001, salah satu tujuannya atau hal mendasar dibuatnya UU ini, menyelesaikan dua akar permasalahan di Papua, yaitu distorsi sejarah dan Pelanggaran HAM yang terjadi sebelum tahun 2000 dan setelah tahun 2001, maka diperlukan adanya pengungkapan kasus-kasus pelanggaran HAM (berat) masa lalu dengan dimasukannya ayat tentang Komisi Kebenaran dan Rekonsiliasi (KKR) di Provinsi Papua dan Pengadilan HAM yang harusnya dengan Peraturan Presiden (Perpres) sesuai dengan kewenangannya, namun sampai hari ini belum dibentuk.
Dikatakan, beberapa tahun lalu, Menkopolhukam Mahfud MD mendorong agar RUU Komisi Kebenaran dan Rekonsiliasi (KKR) segera masuk ke Program Legislasi Nasional (Prolegnas) 2020. Ia ingin RUU ini bisa lolos agar pembahasan materinya bisa segera dilakukan.
Bahkan, Jhon Gobai mengapresiasi langkah politik itu. Sebab, hal ini telah sesuai dengan amanat UUD 1945. Namun, sayang terakhir dengan Perpres belum membentuk tim yang tentunya berbeda dengan maksud dalam Pasal 45 dan Pasal 46 UU Nomor 21 tahun 2001, jadi mungkin tepat bila Tim ini berlaku di luar Papua.
Jhon Gobai pun mengatakan, jika penegakkan HAM dan KKR sangat terkait dengan teori Negara Hukum. Dalam kepentingan warga negara sebagai pemegang hak yang dilanggar oleh aparat negara, maka negara dalam konsepsi negara hukum akan kehilangan karakteristiknya sehingga perlindungan HAM merupakan bagian yang inheren dari teori negara hukum.
Bahkan ia sependapat dengan adanya restorative justice (Keadilan restoratif), proses dimana pihak-pihak berkepentingan, memecahkan bersama cara mencapai kesepakatan pasca terjadi suatu tindak pidana, termasuk implikasinya dikemudian hari atau korban diperhitungkan martabatnya.
“Pelaku harus bertanggungjawab dan diintegrasikan kembali ke dalam komunitasnya. Pelaku dan korban berkedudukan seimbang dan saling membutuhkan, karena itu harus dirukunkan (rekonsiliasi),” tandas Gobai.
Kendati demikian, Jhon Gobai berkaca pada KKR di berbagai Negara, dimana KKR adalah sebuah komisi yang ditugasi untuk menemukan dan mengungkapkan pelanggaran pelanggaran HAM yang dilakukan pada masa lampau, dengan harapan menyelesaikan konflik dan mewujudkan rekonsiliasi Nasional.
Pasalnya, beberapa negara pernah membentuk komisi seperti ini antara lain KKR di Afrika Selatan yang dibentuk oleh Presiden Nelson Mandela setelah apartheid, pada umumnya dianggap sebagai sebuah model untuk Komisi Kebenaran yang cukup berhasil.
Namun, KKR Afsel juga dikriik karena membiarkan pelaku kejahatan tidak dihukum. Sebagai laporan kepada pemerintah, mereka memberikan bukti-bukti menentang revisionisme sejarah atas terorisme negara dan kejahatan-kejahatan lain serta pelanggaran-pelanggaran HAM. Termasuk di Timor Timor dibentuk Komisi untuk Penerimaan. Kebenaran dan Rekonsiliasi (Comiss4o de Acolhimento, Verdade e Recorviliacao de Timor Leste) dan Komusi Kebenaran dan Persahabatan.
Menurut Jhon Gobai, pasca reformasi, pengakuan terhadap HAM menjadi semakin kuat dengan diaturnya HAM dalam Amardemen UUD 1945 dan Tap MPR XVII/MPR/1998 tentang HAM yang melampirkan sebuah Piagam HAM, yang kemudian diikuti dengan pembentukan UU Nomor 39 Tahun 1999 tentang HAM, UU Nomor 26 Tahun 2000 tentang Pengadilan HAM serta pembentukan KKR di tingkat nasional melalui UU Nomor 27 Tahun 2004 tentang Komisi Kebenaran dan Rekonsiliasi telah dibatalkan oleh Mahkamah Konstitusi Republik Indonesia. Padahal, lanjut Jhon Gobai, banyak pelanggaran HAM yang terjadi dibawah tahun 2000 yang harus diselesaikan dengan KKR, sebut saja, kasus PKI 1965, Kasus Talangsari dan Kasus Papua.
Dijelaskan, pengadilan HAM Ad Hoc adalah pengadilan di lingkungan peradilan umum yang dibentuk khusus untuk memeriksa dan memutus perkara pelanggaran HAM yang berat yang terjadi sebelum diundangkannya Undang-Undang Nomor 26 Tahun 2000 tentang Pengadilan Hak Asasi Manusia, sebagaimana dijelaskan dalam Pasal 43 UU Pengadilan HAM, yang berbunyi: Pelanggaran Hak Asasi Manusia yang berat yang terjadi sebelum diundangkannya Undang-undang ini, diperiksa dan diputus oleh Pengadilan HAM Ad Hoc.
Sementara pengadilan HAM ad hoc dalam ayat (1) dibentuk atas usul Dewan Perwakilan Rakyat Republik Indonesia berdasarkan peristiwa tertentu dengan Keputusan Presiden. Pengadilan HAM ad hoc sebagaimana di maksud dalam ayat (1) berada di lingkungan Peradilan Umum.
Soal KKR di Papua, Jhon Gobai mengatakan, terkait dengan penyelesaian permasalahan Pelurusan Sejarah dan Pelanggaran HAM masa lalu dalam Pasal 46, UU Nomor 21 Tahun 2001, diatur sebagai berikut bahwa (1) Dalam rangka pemantapan persatuan dan kesatuan bangsa di Propinsi Papua dibentuk Komisi Kebenaran dan Rekonsiliasi, (2) Tugas KKR sebagaimana dimaksud pada ayat 1 adalah a. Melakukan klarifikasi sejarah Papua untuk pemantapan persatuan dan kesatuan bangsa dalam Negara Kesatuan Republik Indonesia dan b. Merumuskan dan menetapkan langkah langkah rekonsiliasi.
Dan, (3) Susunan keanggotaan,kedudukan, pengaturan pelaksanaan tugas dan pembiayaan Komisi Kebenaran dan Rekonsiliasi sebagaimana dimaksud pada ayat 1 diatur dalam Keputusan Presiden setelah mendapatkan usulan dari Gubernur.
“UU ini secara eksplisit tidak mensyaratkan Pembentukan Komisi Kebenaran dan Rekonsiliasi berdasarkan UU KKR yang belaku nasional, namun sejak ditetapkannya UU Otonomi Khusus Papua, Pemerintah belum membentuk Pengadilan HAM dan Komisi Kebenaran dan Rekonsiliasi, sesuai perintah Pasal 45 Ayat 2 UU Nomor 21 Tahun 2001 dengan Kepres atau Perpres,” paparnya..
Dijelaskan, DPR Papua dalam Rapat Paripurna pembahasan APBD Perubahan Provinsi Papua Tahun Anggaran 2019 beberapa waktu lalu, mestinya telah mengesahkan Raperdasus tentang KKR, yang telah dihahas bersama Biro Hukum Pemerintah Provinsi Papua dilakukan Konsultasi Public di 5 wilayah adat di Papua, sesuai Permendagri No 120 Tahun 2018 tentang Pedoman Penyusunan Produk Hukum Daerah, namun pengesahan itu ditunda karena aturan KKR merupakan kewenangan pemerintah pusat.
Jhon Gobai mengungkapkan, Gubernur Papua, Lukas Enembe, juga telah menugaskan UNCEN untuk membuat kajian tentang KKR di Papua, untuk menyelesaikan permasalahan distorsi sejarah dan Pelanggaran HAM yang terjadi sejak integrasi Papua kedalam Negara Indonesia sampai dengan tahun 2000 dan dari tahun 2000 hingga sekarang di Propinsi Papua, maka Pemerintah Indonesia harus dapat membentuk Pengadilan HAM dan KKR di Propinsi Papua.
Apalagi, jelas Jhon Gobai, dalam Pasal 47 UU No 26 Tahun 2000 tentang Pengadilan HAM disebutkan bahwa Pelanggaran HAM yang berat yang terjadi sebelum berlakunya Undang-undang ini, tidak menutup kemungkinan penyelesaiannya dilakukan oleh KKR.
Jhon Gobai menambahkan, KKR sebagaimana dimaksud dalam ayat (1) dibentuk dengan undang undang. UU ini mengamanatkan pembentukan KKR dengan Undang Undang, yang akan menjadi instrumen bagi penyelesaian pelanggaran HAM yang berat yang terjadi di Papua, sesuai dengan UU No 26 tahun 2000 Pasal 43 UU Pengadilan HAM, yang berbunyi: Pelanggaran HAM yang berat yang terjadi sebelum diundangkannya Undang-undang ini, diperiksa dan diputus oleh Pengadilan HAM Ad Hoc.
“Ini artinya mekanisme yudicial dapat juga dilakukan untuk Pelanggaran HAM masa lalu tentu sesuai dengan amanat Pasal 45 dan Pasal 46 UU No 21 tahun 2001 Jo UU No 2 tahun 2021,” terangnya.
“DPR Papua pada tahun 2019 menyusun draf KKR karena kami melihat belum ada keseriusan Pemerintah Pusat dan untuk mendorong Pemerintah Pusat agar membuat Peraturan Presiden sesuai dengan kewenangan Pemerintah,” timpalnya. (Tiara)