Nabire – Calon Legislatif (Caleg) Orang Asli Papua (OAP) menolak hasil pemilu 2024. Sebab perolehan suara OAP diduga dirampok oleh caleg non Papua.
Merasa dirugikan, caleg OAP di beberapa daerah turun jalan melakukan aksi demo menolak hasil pemilu 2024, dan meminta suara mereka dikembalikan.
Ketua Majelis Rakyat Papua Tengah, Agus Anggaibak, dalam keterangan persnya, Rabu (13/3/2024) mengatakan bahwa masalah ini menjadi atensi untuk dibahas bersama Pansus Pemilu di DPR kabupaten se Provinsi Papua Tengah.
“Sampai hari ini masyarakat demo terus, tentu pasti ada permainan pemindahan suara caleg OAP kepada non OAP. Untuk itu, kami akan membahas masalah ini dengan Pansus Pemilu,” terangnya.
Menurut Agus, KPU perlu mengecek baik suara caleg OAP kepada petugas KPPS dan PPD, sebab pasti ada permainan suara murni masyarakat yang diberikan kepada caleg OAP ternyata digeser oleh oknum tertentu kepada caleg non OAP, sehingga mereka caleg non OAP meraup keuntungan dengan cara ilegal.
“Seharusnya suara yang masyarakat Papua berikan kepada caleg OAP tidak dipermainkan. Caleg anak-anak asli Papua harus kita prioritaskan untuk mendapatkan kursi di DPR,” tandasnya.
Selasa (12/3/2024) Orang Asli Papua (OAP) yang tergabung dalam aliasi masyarakat Papua Tengah mendatangi pihak KPU dan Bawaslu Provinsi Papua Tengah dalam bentuk aksi demo damai mempertanyakan hak sulung OAP yang tidak ada dalam Pemilu damai 2024 untuk dikembalikan.
Demo damai tersebut dihadiri perwakilan kepala suku dari delapan kabupaten dan parah tokoh pemuda dari delapan kabupaten di provinsi Papua Tengah, dan demo tersebut juga diikuti sekitar 300 pendemo.
Dikatakan salah satu pemuda, sekaligus orator aksi tersebut pada kesempatan itu, dengan hormat hari ini kami mengetahui soal kewenangan tertinggi di daratan Papua Tengah, Kapolres Nabire kemudian penyelenggara untuk duduk bersama-sama dengan difasilitasi oleh MPR, untuk mengeluarkan sebuah kebijakan dari kita menyebut kedua dari proses penyelenggaraan ini.
Lanjutnya, kita mengetahui bahwa yang punya kewenangan adalah duduk dan mengeluarkan kebijakan agar kursinya dewan itu tidak diduduki oleh kawan-kawan kita, yang kita tidak kenal berasal dari mana tangan politiknya.
Aksi demo damai menuntut dikembalikannya suara untuk Caleg OAP itu, menurut pedemo, telah melalui proses pemilihan dengan sistem noken. Dari semua yang ada, telah terjadi pemindahan suara ke Caleg tertentu yang notabene bukan anak asli daerah di Papua Tengah.
Dalam aksi demo yang berlangsung sekitar 3 jam hingga waktu berbuka puasa itu, nampak dari pihak penyelenggara KPU Provinsi Papua Tengah dan Bawaslu hadir menemui para pedemo.
Negosiasi dan penyampaian aspirasi sempat terjadi, namun hingga bubar belum ada titik temu jawaban dari aksi tersebut.
Mantan Bupati Nabire, Isaias Douw, kecewa berat lantaran Caleg DPR RI non Papua menang di 6 kabupaten Sistem Noken di Papua Tengah.
Padahal, menurutnya, 6 kabupaten dengan pemungutan suara Sistem Noken itu merupakan basis bagi putra daerah Papua.
Dikatakan Isaias Douw, saat demo berlangsung di Depan SMP Antonius Nabire. “Kami juga bagian Negara Kesatuan Republik Indonesia (NKRI), tapi kenapa kita (OAP) punya jatah dikurangi oleh orang luar (Non OAP),” tegas Isaias Douw kepada wartawan
Lanjut Isaias yang juga Caleg DPR RI Dapil Papua Tengah itu, Indonesia adalah negara yang merdeka dan orang asli Papua Tengah merupakan bagian di dalamnya, sehingga mempunyai hak penuh untuk mendapat kursi di DPR RI.
“Papua Pegunungan punya jatah, Papua punya jatah, Papua Barat punya jatah, dan seluruh wilayah Indonesia lainnya juga ada pewakilan diparlemen tingkat pusat. Oleh karena itu, kembalikan hak kesulungan orang asli Papua Tengah untuk kursi DPR RI,” tegas Douw.
Bupati Nabire dua periode itu merasa aneh lantaran di Nabire, pemungutan suara dengan sistem Luber bisa dimenangkan oleh OAP.
“Sedangkan di daerah sistem noken, yang suara kami sudah diisi di dalam noken, kenapa malah tidak dapat suara?,” ungkapnya.
Douw yang juga mantan Ketua Asosiasi Bupati se-Meepago itu dengan tegas mendesak KPU dan Bawaslu bekerja sama secara jujur melakukanr ekapitulasi suara.
Di Deiyai, Dogiyai, dan Paniai itu menggunakan sistem noken, tapi kenapa kami anak daerah tidak dapat (suara) dan mereka yang dari luar yang dapat?
“Ini siapa yang bermain? Apakah penyelenggara? Karena masyarakat punya suara di lapangan kita dapat tetapi sampai di tingkat PPD, KPU, dan Bawaslu kabupaten, (suara) kami kosong,” tegasnya.
Sebagai tokoh masyarakat, tokoh agama dan politisi senior di Papua Tengah, Douw meminta KPU dan Bawaslu mengembalikan hak kesulungan orang asli Papua Tengah dalam kaitannya dengan perolehan kursi di DPR RI Dapil Papua Tengah. (rob)