Jakarta – Serikat Pekerja PLN menyayangkan rencana dimasukkannya kembali power wheeling ke DIM yang rencananya akan dibahas pekan depan bersama Kementerian ESDM.
Power Wheeling merujuk kepada mekanisme yang memperbolehkan pihak swasta atau Independent Power Producer (IPP) untuk membangun pembangkit listrik dan menjual secara langsung terhadap masyarakat melalui jaringan transmisi PLN.
Ini artinya PLN tidak menjadi single multiple buyer karena pembangkit langsung menjual listrik ke konsumen. Selain itu, pada awal 2023 pemerintah juga telah bersepakat untuk tidak memasukkan power wheeling dalam DIM RUU Energi Baru dan Energi Terbarukan yang diserahkan ke DPR untuk dibahas. Namun belakangan ini proses pembahasan RUU EBET tersebut terkesan dipaksakan sebelum berakhirnya Periode DPR RI 2019 – 2024.
PLT Ketua Dewan Pimpinan Daerah Serikat Pekerja PT PLN (Persero) Unit Induk Pembangunan Maluku dan Papua, Ivan Yosefwan Naibaho mengatakan, dari sisi konstitusi, power wheeling melanggar aturan UUD 1945 Pasal 33 Ayat 2 yang berbunyi, “Cabang-cabang produksi yang penting bagi negara dan yang menguasai hajat hidup orang banyak dikuasai oleh negara”.
“Power wheeling akan mengurangi tingkat penguasaan negara (dalam hal ini diwakili oleh PLN) terhadap sistem ketenagalistrikan nasional. PLN tidak mempunyai kendali atas listrik yang melewati jaringannya. “Power wheeling juga akan mengurangi tingkat penguasaan Negara (PLN) terhadap system ketenagalistrikan Nasional.” ujar Ivan Naibaho, Senin (9/9/2024).
Selain UUD 45, Power wheeling, kata Ivan, juga melanggar Undang – Undang Nomor 30 Tahun 2009 tentang Ketenagalistrikan khususnya Pasal 10 Ayat (2) yang berbunyi, “Usaha penyediaan tenaga listrik untuk kepentingan umum sebagaimana dimaksud pada ayat (1) dapat dilakukan secara terintegrasi.”
DPD SP PLN UIP MPA juga menyampaikan sesuai dengan Putusan MK No. 111/PUU-XIII/2015 tentang pasal ini sendiri menyatakan bahwa tidak dibenarkannya praktik unbundling dalam usaha penyediaan tenaga listrik untuk kepentingan umum sedemikian rupa sehingga menghilangkan kontrol sesuai dengan prinsip “dikuasai oleh negara”.
“Praktik power wheeling ini sangat berpotensi mengurangi kontrol PLN terhadap sistem ketenagalistrikan nasional,” tegasnya.
Sekretaris DPD SP PLN UIP Maluku Papua tersebut mengutip penyampaian Arief Hidayat (Ketua MK Periode 2015 – 2017) semuanya berangkat dari Pasal 33 ayat (2) “Cabang-cabang produksi yang penting bagi negara dan menguasai hajat hidup orang banyak dikuasai negara. “Kita harus mengingat-ingat terutama kaitannya dengan masalah listrik,” ucap Ivan.
Berdasarkan Pasal 33 ayat (2), DPD SP PLN UIP Maluku dan Papua meminta yang dimaksud ditetapkan oleh pemerintah pusat itu tidak hanya pemerintah pusat dalam arti eksekutif sendiri, tetapi ingin menjadi dimaknai dengan persetujuan DPR.
Karena itu, dari empat urutan yang di sampaikan terdahulu, yang tidak penting dan tidak menguasai hajat hidup orang banyak pun, ada yang harus dikuasai oleh negara karena peran negara di dalam Negara Republik Indonesia yang disebut dengan negara orang secara umum sering menyebut teori welfare state.
Di Indonesia tidak sekadar welfare state, tapi religious welfare state, sehingga ini lebih tinggi daripada ukuran-ukuran di negara barat. Kalau 19 negara barat hanya mengatakan welfare state negara kesejahteraan, itu artinya lebih ke arah lahiriah.
Tetapi Indonesia berdasarkan Pancasila Sila Pertama, lebih tinggi dari ukuran itu, yaitu religious welfare state. Misalnya saja, urusan masalah kesejahteraan batiniah, itu sebetulnya tidak begitu menguasai hajat hidup orang banyak, itu sebetulnya tidak penting bagi negara, tapi negara religious welfare state harus mengurusi itu, terlebih menyangkut ketenagalistrikan.
Pasal 7 hanya mengatakan, “Rencana ketenagalistrikan nasional disusun berdasarkan kebijakan energi nasional yang ditetapkan oleh pemerintah pusat.”
Sebetulnya juga tidak berlebihan kalau Serikat Pekerja PLN meminta ditetapkan oleh pemerintah pusat melalui persetujuan DPR selaku perwakilan seluruh rakyat indonesia. Itu juga mungkin dari sisi yang teoretik yang Arief Hidayat kemukakan tidak berlebihan atas permintaan tersebut.
Ivan Naibaho yang juga Pimpinan Sidang Tetap RAKERNAS SP PLN Tahun 2024, di Hotel Bidakara Jakarta menyampaikan ketika power wheeling di implementasikan, maka transmisi kelistrikan nasional akan menjadi dual system.
Menurutnya jika skema power wheeling masuk ke dalam RUU EBET, negara tidak akan mampu membendung kepentingan-kepentingan yang dibawa oleh swasta. Bila hal ini terjadi, negara bakal sulit dalam menjamin kedaulatan energi nasional.
Ivan Naibaho menegaskan bahwa risiko-risiko tersebut harus dihindari. Kita semua rakyat Indonesia harus sepakat bahwa Power wheeling harus kita tolak dalam RUU EBET mengingat negara harus hadir dalam memenuhi kebutuhan energi bagi rakyatnya.
Masyarakat Indonesia juga tentu perlu tahu bahwa Penerapan Power Wheeling dipandang dapat menimbulkan banyak dampak Negatif yang signifikan baik dari segi Keuangan, Hukum, Teknis dan Ketahanan Energi.
Mulai dari Dampak Keuangan yaitu Penurunan Permintaan Organik dan Non-Organik yang mampu menggerus 30% Permintaan listrik organik dan 50% permintaan non organik dari pelanggan konsumen tingkat tinggi (KTT).
Beban Keuangan Negara
Setiap 1 GW (Giga Watt) pembangkit listrik yang masuk melalui Skema Power Wheeling diperkirakan akan menambah beban keuangan Negara hingga Rp.3,44 Triliun (Biaya ToP + Backup Cost) dan perkiraan dampak akumulatif sampai dengan 2030 adalah sebesar Rp429 trilliun untuk Skema Take Or Pay (ToP) yang semula dari Rp.317 triliun, atau terjadi kenaikan sebesar Rp112 trilliun.
Sedangkan Dampak Hukumnya adalah : Terjadinya Kontradiksi dengan UU No.20 Tahun 2022 bahwa Power Wheeling merupakan implementasi dari MBMS yang melibatkan Unbundling. Dimana UU Nomor 20 Tahun 2022 telah dibatalkan oleh Mahkamah Konstitusi pada tahun 2004.
Dampak Hukum lainnya adalah mereduksi Peran Negara seperti yang disampaikan pada Judicial Rewiew SP PLN di MK sebelumnya mengingat Penyediaan Ketenagalistrikan merupakan Peran Negara dalam menjaga kepentingan umum dan dapat memicu potensi Sengketa seperti Penaikan Tarif Listrik, Losses, Frekuensi, dan Volume yang dapat bedampak pada terhentinya pasokan listrik (Blackout) dan merugikan masyarakan luas.
Dampak Teknisnya adalah memperparah Memperparah Oversupply. Dimana saat ini, sistem ketenagalistrikan di Jawa dan Bali telah mengalami oversupply. Penerapan Power Wheeling berpotensi memperburuk kondisi ini, terutama karena pembangkit yang menggunakan energi baru terbarukan (EBT) bersifat intermiten dan tidak stabil.
Dampak Terhadap Ketahanan Energi: dengan meningkatnya risiko blackout, jaminan pasokan listrik yang stabil semakin sulit dicapai. Hal ini dapat menghambat akses terhadap listrik yang andal bagi masyarakat, Harga Listrik yang Tidak Terjangkau: Penambahan beban akibat skema ToP dan investasi untuk spinning reserve akan meningkatkan BPP, yang pada akhirnya membuat harga listrik melonjak dan membebani konsumen serta APBN.