Jayapura – Wakil Ketua I DPR Papua, DR Yunus Wonda menilai, pemerintah pusat dan DPR RI tidak peka terhadap aspirasi rakyat Papua dalam revisi kedua Undang-Undang Nomor 21 Tahun 2001 tentang Otonomi Khusus bagi Provinsi Papua.
“Kami tidak mengerti pemikiran dan target dari pemerintah pusat terkait revisi UU Otsus, karena dalam konteks masyarakat bahwa akan berakhir tahun ini. Namun, kalau kita lihat secara keseluruhan sebenarnya Undang-undangnya tidak berakhir, tapi ada kebijakan-kebijakan yang harus dilanjutkan, terutama anggaran,” kata Yunus Wonda kepada Wartawan di Jayapura, Rabu (7/07).
Bahkan, kata Yunus Wonda, pemerintah pusat seakan-akan sangat tidak peduli dengan aspirasi masyarakat. “saya mau tegaskan bahwa Papua ini ada penghuninya. Jangan kita anggap Papua tidak ada penghuninya,” tandas Yunus Wonda.
Untuk itu, Politikus Partai Demokrat Papua ini meminta pemerintah pusat untuk melihat aspirasi rakyat Papua tersebut dan harus ada yang membuka ruang bagi rakyat Papua.
“Kami melihat yang disampaikan DPR Papua dan MRP, seakan-akan sedikitpun tak direspon. Pertanyaan saya, kebijakan Otsus yang akan dilakukan, apakah untuk rakyat atau untuk kepentingan elit politik saja? Jika untuk kepentingan rakyat Papua, tolong dengarkan aspirasi rakyat Papua, apa yang diinginkan rakyat Papua, jangan selalu rakyat Papua digiring dan akhirnya selalu disalahkan,” kata Yunus Wonda dengan nada kesal.
Menurutnya, jika hal itu merupakan kebijakan yang salah yang dilakukan oleh pemerintah pusat terhadap rakyat di Papua.
Yunus Wonda menilai, jika revisi dua pasal terhadap UU Otsus itu, bukan menjadi prioritas bagi rakyat Papua.
Padahal, masyarakat meminta agar bupati, wakil bupati, wali kota, wakil wali kota, pimpinan DPR provinsi, kabupaten/kota harus orang asli Papua.
“Itu kan substansi dari Otsus. Kalau itu tidak terjadi, kira – kira mana sih yang khusus. Di DKI, Gubernur bisa tunjuk wali kota, Aceh ada syariat islam dan di DIY gubernurnya raja Keraton Jogja, tidak ada pemilihan. Itu kan punya kekhususan, kenapa kami orang Papua, meski gubernur dan wakil gubernur orang asli Papua, itu kan sebenarnya sama di daerah lain di Indonesia, misalnya gubernur Sulsel, ya orang Sulsel. Tidak mungkin orang Papua,” tekannya.
Oleh karena itu, Yunus Wonda minta Pansus Otsus DPR RI terutama Ketua Pansus Komarudin Watubun harus peka terhadap aspirasi dan keinginan rakyat Papua.
“Pak Komarudin harus peka. Apalagi, pak Komar diutus rakyat Papua untuk duduk di DPR RI. Suara orang Papua. Jadi tolong peka dengan situasi Papua. Jangan kejar kepentingan pemerintah, tapi mengorbankan rakyat Papua,” ketusnya.
Lanjutnya, juga terhadap anak-anak Papua yang terlibat dalam Pansus Otsus DPR RI, mari dengar aspirasi rakyat Papua. Ya, kami harap jika suatu saat terjadi konflik, jangan lepas tangan. Hadir datang ke Papua. Jangan nanti masalah, tapi ambil sikap diam,” timpalnya.
Selain itu, Yunus Wonda melihat seakan-akan pemerintah mendesak revisi UU Otsus, padahal tidak ada urgensinya bagi rakyat Papua, apalagi pemekaran provinsi. Untuk itu, Yunus Wonda meminta kepada Presiden RI untuk mendengarkan jeritan rakyat Papua.
“Tolong dengarkan apa yang menjadi aspirasi dan jeritan orang Papua. Dalam sambutan resmi bapak Presiden sangat jelas, bahwa terkait evaluasi Otsus harus mendengarkan tokoh-tokoh Papua, harus mendengarkan saran masukan dari masyarakat Papua, namun hari ini hal itu tidak terjadi,” tuturnya.
Yunus Wonda juga meminta Pansus Otsus DPR RI dan pemerintah pusat termasuk partai partai politik di Indonesia untuk menyelamatkan orang Papua yang masih ada.
“Jumlah kami sudah sedikit dalam negara ini. Tolong kami dilindungi dan diproteksi dengan baik dalam negara ini. Jangan UU Otsus ini, membuat kami terus tersisih dan termajinalkan. Bicara pemekaran, orang Papua pasti akan tersisih. Pemekaran tidak menjamin orang Papua sejahtera. Kami bukan menolak, tapi belum saatnya dilakukan pemekaran,” tegas Yunus Wonda.
Terkait soal 21 Daftar Inventaris Masalah (DIM) yang disepakati dalam pembahasan revisi UU Otsus, Yunus Wonda menilai hampir tidak memberikan proteksi terhadap orang asli Papua.
“Jadi, kami seolah dianggap Papua tidak berpenghuni. Pusat yang mengatur dan pusat yang memutuskan. Jika mau jujur, UU Otsus itu tidak maksimal dan hari ini kita semua melanggar UU Otsus. Sebagus apapun membuat UU besok, kita akan melanggar juga,” ujar Yunus Wonda.
Padahal, kata Yunus Wonda, dalam UU Otsus pada pasal 76 tentang pemekaran itu atas persetujuan MRP dan DPR Papua, begitu juga pasal 77 jelas bahwa perubahan UU Otsus dilakukan atas usulan rakyat Papua melalui MRP dan DPR Papua, namun tidak dilaksanakan. Namun, soal wacana agar pembahasan revisi UU Otsus dipending, Yunus Wonda pun sependapat.
“Ya, lebih bagus dipending dulu. Kembalikan ke rakyat Papua melalui mekanisme resmi agar keputusan yang dibuat berdasarkan aspirasi rakyat Papua. Kita tidak bicara Papua merdeka dan NKRI harga mati, tapi bagaimana memproteksi dan melindungi orang Papua dalam negara ini,” tutup Yunus Wonda. (TIARA).