Jayapura, – Sekertaris Komisi I DPR Papua yang membidangi Pemerintahan, Politik, Hukum dan HAM, Feryana Wakerkwa, S.IP.,M.Inter Dev mengatakan, berbicara soal perempuan Papua merupakan suatu hal yang luar biasa di mata kaum pria apalagi para pelaksana pembangunan dalam hal ini pejabat.
Sebab kata Feryana, perempuan Papua juga punya hak bersuara dalam mengkritik kebijakan pemerintah yang dianggap tidak rasional dan tidak berjalan maksimal.
Lanjut dikatakan, kita tahu bersama bahwa perempuan Papua adalah agen perubahan (Agent of Change) yamg turut memberikan kontribusi positif dalam berbagai isu. Seperti isu politik, ekonomi kesehatan, juga pendidikan. Dan mereka (perempuan) juga adalah bagian dari pengawas pembangunan.
Selain itu kata Feryana, perempuan juga sebagai mahkluk yang bebas. Mereka bebas menentukan hak mereka dalam komunikasi, apalagi yang bersifat kritikan dan saran kepada pelaksana pembangunan dalam hal ini para pejabat yang ada, khususnya di Papua.
“Jangan jadi perempuan-perempuan Papua yang simpan suara atau diam saja. Perempuan Papua juga punya vocal untuk menyampaikan pendapat dan kritikan jika suatu hal tidak lagi sejalan dengan logika,”kata Feryana Wakerkwa lewat pesan singkatnya kepada Pasific Pos, Minggu (19/4).
Menurut politisi Partai Amanat Nasional (PAN) ini, sekarang bukan saatnya perempuan Papua diam. Perempuan Papua harus bersuara jika melihat kebijakan yang diambil pemerintah tidak benar.
“Saya berharap perempuan-perempuan Papua lain yang ada di luar sana, tetap bersuara untuk membela hak-hak perempuan Papua,” ujarnya.
Bahkan kata dia (Feryana), perempuan sebagai mahkluk bebas. Bebas dalam memberikan pendapat dan berargumentasi dalam sebuah topik. Lebih khusus lagi saat ini ditengah pandemi virus corona atau covid-19 yang penyebarannya begitu cepat.
“Jadi tidak heran jika ada perempuan-perempuan Papua yang mengkritik atau memberikan saran kepada para pemimpin di Tanah Papua ini dalam hal kebijakan mereka dalam menangani covid-19 yang sedang berkembang dengan cepatnya di Papua tapi juga seluruh dunia,” kata Feryana.
Feryana pun kecewa, apabila ada perempuan Papua yang mencoba mengkritik kebijakan pemerintah namun tidak ditanggapi. Malahan harus berakhir di ranah hukum.
“Saya melihat dari sudut pandang perempuan, ada banyak kaum pria yang juga mengkritik pemimpin yang ada di Tanah Papua. Tapi kenapa ketika perempuan yang mengkritik, seolah-olah ada diskriminasi terhadap kaum perempuan,” ungkap Feryana.
Untuk itu, sebagai perwakilan perempuan Papua yang duduk di parlemen Papua meminta pemerintah jangan memberikan tekanan berlebihan ketika ada perempuan Papua yang mengkritik kebijakan yang dilakukan. Sebab, cara itu sama saja dengan mematikan karakter perempuan Papua untuk bersuara mengawal pembangunan di Bumi Cenderawasih ini.
“Saya harap pemerintah tidak hanya lihat dari gendernya,” tuturnya.
Kata Feryana, sangat tidak heran juga kenapa kami perempuan Papua lebih memilih sosial media untuk menyampaikan aspirasi. Mengingat suara kami selalu tidak di dengar di tempat umum. Padahal kami perempuan adalah mahkluk yang suka bersosialisasi dan senang berbagi informasi melalui semua media.
“Jadi wajar kalau perempuan Papua turut berperan dalam memberikan kritik dan saran di media sosial selagi masih dalam koridor yang santun dan beretika, karena itu juga bagian dari kepedulian mereka sebagai perempuan Papua pemilik kehidupan diatas tanah ini,” imbuhnya.
Feryana menambahkan, seharusnya para pemimpin yang dikritik menerima itu sebagai masukan yang akan membantu mereka dalam menjalankan tugas-tugasnya kedepan.
“Kritikan seorang perempuan itu selalu didasari oleh rasa memiliki yang tinggi dan pengawasan yang dilakukan selalu teliti serta didasari dengan hati dan nalar,” tandas Feryana yang juga merupakan Ketua Pansus Kemanusiaan DPR Papua.