Sentani – Peran media massa dan media sosial dinilai sangat penting bagi perjuangan hak-hak Masyarakat Adat di Nusantara. Pernyataan ini muncul dalam acara Ro Riya atau sarasehan dengan tema “Peran Media Massa & Media Sosial dalam Mendukung Perjuangan Hak Masyarakat Adat & Sebagai Ruang Kebebasan Berpendapat”. Sarasehan yang dilangsungkan di Kampung Nendali, Distrik Setani Timur, Kabupaten Jayapura, Papua, pada Rabu (26/10/2022).
Sarasehan yang dibuka oleh Laode Muhamad Syarif, Direktur Kemitraan ini merupakan bagian dari rangkaian acara Kongres Masyarakat Adat Nusantara Keenam (KMAN VI) di Wilayah Adat Tabi, Papua yang digelar oleh Aliansi Masyarakat Adat Nusantara (AMAN). Menurutnya, keberpihakan media perlu selalu dibunyikan, terutama untuk melindungi hak-hak Masyarakat Adat.
“Media harus menjadi tempat pembelajaran untuk perjuangkan hak Masyarakat Adat yang suranya kadang tidak terdengar atau tidak sampai pada media dan masyarakat umum,” kata Laode Muhamad Syarif.
Sarasehan yang dihadiri lebih dari 100 peserta dari perwakilan komunitas Masyarakat Adat di penjuru Nusantara ini menjadi landasan penting untuk melihat lebih dalam peran media dan media sosial dalam perjuangan hak-hak Masyarakat Adat dan perjuangan pengesahan RUU Masyarakat Adat.
Hadir dalam sarasehan tersebut Victor Mambor, penanggung jawab atau CEO media Jubi yang memberikan penekanan bahwa Masyarakat Adat juga harus mampu membangun media sendiri untuk mengabarkan berbagai isu Masyarakat Adat, dan tidak bersandar pada media arus utama saja. Hal senada juga disampaikan oleh Harry Surjadi dari Tempo Witness yang mendorong AMAN sebagai organisasi yang menaungi jutaan Masyarakat Adat untuk membangun jurnalisme rakyat.
Sementara itu, Alfa Gumilang, staf Infokom Pengurus Besar AMAN menyatakan bahwa media-media penting untuk memberikan ruang yang lebih besar bagi suara-suara Masyarakat Adat yang selama ini dipinggirkan. Terlebih, ketika terjadi konflik perampasan wilayah adat oleh perusahaan atau pemerintah, suara Masyarakat Adat kerap tak mendapatkan porsi yang baik.
“Hanya ada beberapa media yang secara konsisten memberikan ruang yang cukup baik bagi suara Masyarakat Adat,” ucapnya.
Oleh karenanya, Masyarakat Adat kerap menggunakan media sosial sebagai ruang untuk menyuarakan masalah-masalah yang dihadapi. Walau saat ini dukungan publik secara umum belum terlihat masif atas isu-isu Masyarakat Adat, terutama pada agenda pengesahan RUU Masyarakat Adat.
“Jika RUU Masyarakat Adat ini disahkan, maka perampasan-perampasan wilayah adat tidak akan terjadi lagi. Sehingga sangat penting bagi publik luas untuk mau mendukung perjuangan pengesahan RUU yang sudah 12 tahun mengendap di DPR,” sambungnya.
Media sosial yang menjadi salah satu pokok bahasan dalam sarasehan tersebut juga disoroti oleh Mardiyah Chamim dari Development Dialogue Asia. Mardiyah menilai di tengah keterbatasn media, perlu menggunakan media sosial sebagai senjata lain dari perjuangan Masyarakat Adat.
“Kita perlu gunakan semua ‘senjata’, media arus utama dan media sosial. Keduanya punya karakter. Media arus utama bisa ke advokasi yang terarah dan media sosial mengajak publik untuk dukung atau peduli dengan apa yang dialami Masyarakat Adat,” ujar Mardiyah yang dulunya juga adalah seorang jurnalis.
Namun demikian, ruang terbuka untuk melakukan kampanye di media sosial bukan tanpa masalah. Mereka yang bersuara di media sosial masih terus dibayangi oleh UU ITE yang bisa kapan saja menjerat Masyarakat Adat yang bersuara kritis.
Padahal, bersuara di media sosial merupakan bagian dari kebebasan berpendapat dan berekspresi. Komnas HAM sudah melakukan kajian dengan banyak pasal yang mengkriminalkan orang yang berekspresi.
“Hak kebebasan berpendapatan dan berkespresi ini fundamental. Bayangkan jika ada peristiwa yang mengusik keadilan dan tak manusiawi, maka Masyarakat Adat berhak berpendapat dan berkespresi,” ujar Mimin Dwi Hartono, Pelaksana Tugas Kepala Biro Pemajuan HAM Komnas HAM.
Dalam sarasehan tersebut juga hadir Dinna Noach, Staf Khusus Gubernur NTT Bidang Disabilitas, yang juga menyampaikan gambaran bagaimana para penyandang disabilitas, seperti halnya Masyarakat Adat, tidak banyak mendapatkan ruang pemberitaan di media. Ia merasa bahwa media punya peran yang penting untuk mengangkat isu-isu kolompok masyarakat yang dipinggirkan.
Hadir pula dalam sarasehan tersebut Ridzki Rinanto Sigit, Mongabay Indonesia dan Yuliana Langowuyo, Direktur SKPKC Fransiskan Papua. Sarasehan yang dilaksanakan buah kerjasama AMAN dengan Human Rights Working Group (HRWG) dan Komnas HAM tersebut ditujukan untuk mendapatkan berbagai rekomendasi yang akan dibahas ke sidang-sidang pleno di KMAN VI dan nantinya ditetapkan sebagai program dan rencana kerja Aliansi Masyarakat Adat Nusantara (AMAN).