Oleh : Felix Hursepuny,S.Sos
MERAUKE,ARAFURA– Siswa Pelintas Batas asal Papua New Guinea (PNG) yang ada di Kampung Sota Distrik Sota Kabupaten Merauke Provinsi Papua Selatan, menjadi hal yang menarik. Pasalnya, mengejar ilmu hingga ke negeri seberang menjadi potret kehidupan yang terjadi di lingkup SD YPK Sota. Sebagaimana lazimnya sekolah-sekolah di tapal batas namun ada hal yang justru berbeda.
Peserta didik bukan hanya dari anak-anak sekitar Kampung Sota Wilayah RI melainkan anak-anak dari kampung sebelah yang kedudukannya ada di Wilayah PNG. Siswa Tapal Batas RI-PNG sebutannya, patut menjadi daya tarik pelaku kebijakan dimana wajah tapal batas kedua negara menjadi lokomotif pendidikan bagi generasi penerus.
Kepala SD YPK (Yayasan Pendidikan Kristen) Sota Drs.Semy Supusepa mengatakan perlu ada perhatian khusus pemerintah atas kondisi yang terjadi di sekolahnya. Kendala fasilitas sekolah yang belum maksimal juga aspek bapak asuh bagi peserta didik yang sangat minim. Belum lagi Program Merdeka Belajar yang digadang-gadang menjadi pintu paradigima pendidikan, justru membutuhkan langkah-langkah strategis pihaknya sesuai kondisi yang ada. Artinya tiap daerah memiliki spesifikasi khusus yang berbeda termasuk yang ada di SD YPK Sota. Penerapan Merdeka Belajar belum dapat dilakukan maksimal diakibatkan keterbatasan-keterbatasan terutama sumber daya guru yang dimiliki. Hal lain seperti kendala bahasa, kendala ekonomi keluarga, kendala kultur budaya bahkan kendala politik masih menjadi ‘tembok’ yang dipaksa tembus demi mengenyam ilmu pengetrahuan melalui bangku sekolah.
“Kondisi peserta didik di SD YPK Sota ini sangat membutuhkan perhatian semua pihak. Sebab keberadaan sekolah yang letaknya di tapal batas RI-PNG dimana anak-anak dari kedua wilayah batas ini sekolahnya di kami. Pemerintah memberi kesempatan kepada anak-anak kampung dari wilayah PNG untuk dapat menimbah ilmu di bangku SD ini,”papar Kepsek, saat diwawancarai ARAFURA News baru-baru ini.
Masih dikatakan, saat ini jumlah peserta didik dari wilayah kampung PNG menurun drastis dibanding Tahun 2022 lalu. Jumlah yang kurang dari 50 siswa diakibatkan berbagai faktor utama. Seperti belum adanya perjanjian kedua negara RI dan PNG untuk peserta didik pelintas batas terutama kampung-kampung yang memiliki hubungan kelurga, historis dan adat istiadat. Kurikulum yang digunakan masih sebatas Kurikulum Pendidikan Nasional RI. Belum lagi faktor penunjang seperti belum tersedianya asrama bagi peserta didik asal wilayah PNG. Program bapak asuh atau keluarga asuh bukan hanya asal PNG maupun peserta didik asli Kampung Sota masih sangat minim.
“Ini sekolah dari Yayasan Kristen masih terbatas dalam memberi bantuan termasuk dari pemerintah. Kami berharap kedepan dapat lebih diperhatikan mengingat yang sekolah adalah anak-anak dari kedua wilayah di tapal batas,”ungkapnya.
Sementara itu menurut salah seorang peserta didik SD YPK Sota Yosias Mahuse yang duduk dibangku kelas 5 mengatakan dirinya bersama teman-teman yang datang sekolah di SD YPK Sota sangat bersyukur. Meskipun dari Kampung Ndom PNG namun dirinya ada memiliki keluarga juga di wilayah Sota RI. Bersama teman-temannya yang jumlahnya tidak banyak mengaku sangat senang bisa sekolah. “Saya dan teman-teman senang bisa sekolah disini,”ujarnya singkat .
Dari pengamatan ARAFURA News, nampak pula belasan anak-anak asal PNG bermain lepas dengan anak-anak Kampung Sota dengan akrab dan riang. Bahkan setelah usai jam sekolah anak-anak ini masih bermain tapi hingga sore hari. Mengingat pada Pukul 17.00 WIT, oleh petugas Pos TNI yang menjaga tapal batas tidak mengijinkan ada warga pelintas yang masuk atau keluar lagi. Kondisi unik ini menjadi hal menarik mengingat keakrapan masyarakat di kedua wilayah terjalin dengan baik ditengah kondisi wilayah Papua lain yang masih mencekam keamanannya.
Potret keakraban warga masyarakat di kedua wilayah terlihat bukan hanya pada anak-anak yang sekolah saja namun pada aspek ekonomi. Dimana warga asal PNG melakukan aktivitas belanja di kios-kios dan warung yang ada di Sota bahkan terkadang barter barang dan uang masih kerap terjadi.**