Oleh: Yunus Saflembolo, SE., M.TP
Dalam perspektif dinamis, pilkada sejatinya adalah ajang untuk menemukan calon-calon pemimpin pendobrak dan pembuka jalan (problem solver), yang diharapkan sanggup meramu langkah dan strategi kebijakan daerah agar keluar dari keadaan kekinian. Semisal, jika hari ini publik menilai dan merasa bahwa pembangunan di daerahnya nyaris stagnan, maka yang dibutuhkan sejatinya adalah calon pemimpin yang bisa membawa daerah tersebut ke luar dari perangkap stagnasi. Jika daerah tersebut dinilai lumayan dinamis dan berkembang, maka yang dibutuhkan adalah pemimpin yang minimal bisa mempertahankan trend perkembangan tersebut. Dan tentu akan lebih baik lagi jika yang didapat justru yang bisa membawa daerah tersebut menjadi lebih berkembang dari sebelumnya.
Sebaliknya, Pilkada juga berarti ajang untuk menyingkirkan kandidat-kandidat yang dianggap, atau bahkan telah terbukti, tidak pernah melakukan hal-hal yang beririsan dengan kepentingan publik di daerah. Dengan kata lain, Pilkada sejatinya harus bisa menyingkirkan kandidat yang dianggap hanya menjadi perwakilan dirinya sendiri dan kelompoknya, atau kandidat yang lebih banyak dipersepsikan sebagai tokoh yang hanya senang di zona aman, hanya menjalankan prosedur kepemimpinan daerah dan tetek bengek administratif lainya, tanpa peduli dengan persoalan yang dirasakan oleh masyarakat banyak.
Tokoh yang hanya senang dengan track record bersih, tapi tak melakukan terobosan apa-apa, masuk ke dalam kategori semacam ini. Padahal, dalam kacamata dinamis, yang dibutuhkan tidak hanya kehebatan integritas, tapi juga kapabilitas berupa kelincahan kreasi alias kreatifitas dalam menyelesaikan berbagai persoalan, kreatifitas dalam menyiasati berbagai kendala yang ada, dan kreatifitas dalam meramu strategi dan taktik, untuk kemaslahatan publik di daerah. Fungsi kedua tersebut dibahasakan oleh Prof. Pippa Noris dengan peristilahan ” to kick the rascal out” alias fungsi untuk menyingkirkan para bandit dan bajingan politik keluar dari arena kontestasi.
Kedua perspektif semacam ini akrab dipakai oleh masyarakat kebanyakan. Biasanya, di setiap perhelatan pilkada di sebuah daerah, yang muncul di pikiran rakyat kebanyakan adalah harapan dan harapan. Harapan agar di daerah tersebut terpilih pemimpin yang anu dan nganu, misalnya. Sehingga daerah tersebut pun bisa mengalami nganu dan mencapai anu. Jadi sesederhana itu saja sebenarnya cara pandang rakyat kebanyakan soal pilkada atau ritual pergantian pemimpin di daerah.
Harapan tersebut, dalam perspektif kedua, juga bermakna bahwa masyarakat tak berharap ada calon bajingan yang naik panggung, karena akan menghalangi harapan-harapan baik tadi untuk terealisasi. Jadi dengan dua perspektif dinamis tadi, sejatinya Pilkada adalah titik masuk untuk melakukan perubahan, pembaharuan, perbaikan, berbagai terobosan, dan berbagai kreasi-kreasi baik. Dengan naiknya pemimpin yang memiliki integritas, kredibilitas, kapabilitas, dan kreatifitas, maka ekspektasi publik akan tetap terjaga.
Harapan dan asa publik tersebut bisa terus dipupuk, yang ujungnya nanti bisa menjadi energi pendukung untuk berbagai perubahan yang akan dilakukan oleh pemimpin terpilih di daerah. Dan tak bisa dipungkiri, penjaga pertama dari asa tersebut adalah para elit di daerah. Jika para elit gagal menyodorkan calon-calon yang bisa memuaskan ekspektasi publik, kemudian gagal menghadirkan para pemimpin jempolan, maka akan menjadi kesalahan elit pula jika lima tahun selanjutnya daerah tersebut mandek perkembangannya dan meningkat antipati publiknya.