Jayapura – Pemerintah Provinsi dan Kabupaten Jayapura berserta masyarakat adat pemilih hak ulayat hinterland di daerah transmigrasi Kampung Karya Bumi, Distrik Namblong, akan menemui Menteri Dalam Negeri (Mendagri) di Jakarta.
Pertemuan dengan Mendagri tersebut, guna menyelesaikan tuntutan masyarakat adat yang berasal dari 7 suku yang mendiami empat distrik yakni, Namblong, Kemtuk, Kemtuk Gresi dan Nimbokrang melakukan pemalangan di kawasan Transmigrasi Bumi Karya sejak Senin, 16 November 2020 lalu.
Penjabat Sekda Papua, Doren Wakerkwa bersama Bupati Jayapura Mathius Awoitauw dan perwakilan masyarakat adat dalam pertemuannya, Jumat (20/11/2020) membahas penyelesaiaan tuntutan masyarakat adat atas lahan transmigrasi sekitar 300 hektar lebih.
Doren menerangkan, tim akan melaporkan persoalan tersebut ke Mendagri untuk meminta petunjuk dan arahan terkait langkah-langkah penyelesaian pembayaran biaya ganti rugi lahan transmigrasi di Besum, sebagaimana tuntutan masyarakat adat.
“Gubernur Papua atau Bupati Jayapura bayar tidak bisa, karea ini terkait dengan aset. Tanah ini kan didudki oleh transmigran yang ditempatkan oleh Pemerintah Pusat pada tahun 70an. Semoga ada titik terang penyelesaiannya, karena Mendagri dulu cukup lama di Papua,” kata Doren.
Menurut Bupati Jayapura, Mathius Awoitauw, karena program transmigrasi ini adalah program nasional, dengan demikian Pemerintah Pusat harus bertanggungjawab menyelesaikan persoalan tanah transmigrasi ini.
“Mudah-mudahan Pemerintah Pusat bisa menyelesaikan masalah ini tidak terlalu lama. Kesepakatan dalam pertemuan ini juga menjamin tidak ada pemalangan lagi dari masyarakat adat setempat,” kata Awoiatauw.
Ia pun mengapresiasi Pemerintah Provinsi Papua yang dengan cepat merespon dengan menggelar pertemuan bersama pihaknya dan masyarakat adat. Sebab, masyarakat memang menginginkan pertemuan seperti itu untuk mendengar langsung langkah-langkah yang diambil Pemerintah.
“Dalam surat Mendagri memang meminta kami berkoordinasi dengan Pemerintah Papua dan hari ini sudah ada komunikasi yang baik. Jaid kami sampaikan terima kasih ke Gubernur Papua bisa fasilitasi pertemuan ini,” tambahnya.
Sementara itu, Ketua Tim penyelesaian sekaligus perwakilan dari masyarakat adat, Bernadus Sanggrawai mengaku sepakat dengan hasil keputusan dalam pertemuan tersebut. Namun, hal ini tak mempengaruhi tenggat waktu penyelesaian yang ditentukan oleh masyarakat.
“Saat kami buka palang 18 November kemarin, sudah ada kesepakatan dari kami paling lambat tunggu selama 1 bulan untuk sudah harus ada penyelesaiannya. Apabila tidak selesai, maka kami akan lakukan pemalangan kembali,” tegasnya.
Ia berharap, dari pertemuan bersama Mendagri nanti, masyarakat adat bisa mendapat kepastian pembayaran ganti rugi tanah yang sudah disepakati oleh pihaknya sebesar 50 ribu per meter dengan luas tanah mencapai 397,18 hektar.
“Dari total 526,34 hektar, 129,16 hektar sudah dibayar oleh Pemerintah Papua karena lahan itu ditempati oleh SKPD Pemprov Papua. Sisanya ini yang kami tuntut adanya pembayaran ganti rugi,” tutupnya.
Sementara itu, perwakilan masyarakat adat Bernadus Sanggrangwai, mengatakan, tuntutan masyarakat adat ini sudah lama, sekitar 12 tahun lalu itu dan terkesan dibiarkan begitu saja oleh Pemprov Papua hingga saat ini.
“Surat dari Mendagri disampaikan kepada gubernur bahwa harus segera menyelesaikan secara keseluruhan lokasi yang sudah dipresentasikan di Jakarta, yakni 397,18 hektar itu yang harus diselesaikan,” bebernya.
Menurut Bernadus, tanah seluas 500 hektar lebih itu, pemerintah provinsi Papua baru menyelesaikan seluas 129,16 hektar sebesar Rp 7 miliar.
“Pemerintah baru membayar masyarakat Rp 7 miliar, kita tuntut segera bayar tanah sisanya, jika tidak kami akan palang lagi tanah tersebut,” tegasnya.
Bernadus menjelaskan, terkait surat dari Mendagri, Gubernur Papua Lukas Enembe telah mengeluarkan surat disposisi untuk menuantaskan pembayaran, tetapi kebijakan SKPD terkait tidak sesuai dengan disposisi dari gubernur.
“Kami akan palang hingga ada tanggapan dari Pemprov Papua, karena kapolda sudah mengembalikan hak tersebut kepada adat. Dan harus diketahui, tak ada tanah adat yang diserahkan kepada pemerintah provinsi dengan cuma-cuma,” ujar Bernadus.