PAPUA – Tanggal 1 Mei bagi masyarakat di Tanah Papua selalu diperingati sebagai hari kembalinya Papua ke pangkuan Ibu Pertiwi atau yang lebih sering disebut sebagai integrasi Papua ke dalam NKRI setelah sekian lama dijajah oleh kaum kolonialis Belanda.
Apa dan bagaimana Papua sebelum dan sesudah integrasi terekam jelas dalam sejarah kehidupan, namun kurang dikenal dalam sejarah nasional kita hingga saat ini. Tanah Papua adalah wilayah dalam NKRI yang boleh disebut sebagai wilayah yang unik. Disebut unik karena memiliki berbagai keunikan tersendiri yang tidak terdapat di bagian lain Indonesia bahkan juga dunia. Disebut unik karena memiliki sejarah masa lalu yang berbeda dengan saudara-saudara sebangsanya di berbagai pelosok tanah air.
Tanah Papua menjadi bagian dari NKRI pada tanggal 1 mei 1963, atau setelah 18 tahun Indonesia merdeka, orang Papua tidak mempunyai andil apapun dalam sejarah perjuangan kemerdekaan bangsa Indonesia, karena itu orang Papua selalu berpikir dan merasa sebagai orang-orang yang ditangkap, disandera dan dipaksakan menjadi orang Indonesia.
Di antara orang-orang Papua ekstrim kiri, berpandangan bahwa integrasi politik Tanah Papua kedalam NKRI adalah sebuah tindakan invasif melalui agresi politik dan militer Indonesia. Sentimen ke-Papua-an yang berlebihan selalu merasa bahwa integrasi adalah sebuah bentuk kolonialisasi baru Indonesia atas tanah dan orang-orang Papua. Sudut pandang ini dipertajam dengan kenyataan perbedaan rasial, warna kulit dan bentuk wajah serta rambut dan kebiasaan-kebiasaan lainnya yang sangat berbeda dengan orang-orang Indonesia kebanyakan.
Berseberangan dengan pandangan dan sentimen ke-Papua-an sebagaimana tersebut diatas, ada pandangan historis kritis yang mengakar dalam sebagian warga Papua. Pandangan historis kritis ini terutama dikalangan para teolog Protestan yang melihat integrasi politik Tanah Papua ke dalam NKRI sebagai suatu peta jalan yang dirancang oleh tangan Tuhan Yang Maha Kuasa atau disebut sebagai Motivasi Tuhan. Kerangka dasar dari pemikiran para teolog Protestan ini didasarkan pada latar belakang sejarah Tanah Papua dan perjumpaan orang Papua dengan bangsa-bangsa lain di dunia. Dengan kata lain dapat disebutkan sebagai “membaca motivasi Tuhan dalam lembaran sejarah Tanah Papua.”
Ada perbedaan pendapat diantara para ahli sejarah tentang kapan Tanah Papua mulai dihuni oleh manusia dan dari mana asal muasal orang-orang yang saat ini disebut sebagai orang Papua, serta bagaimana awal perjumpaan orang Papua dengan bangsa-bangsa lain di dunia. Para teolog berpendapat bahwa peran penting bangsa-bangsa lain di sekitar Tanah Papua tidak dapat dan tidak boleh diabaikan, sebab keterbukaan Tanah Papua terjadi karena kepeloporan bangsa-bangsa lain.
Sebut saja para pelancong orang Eropa, para saudagar Cina yang berseliweran di perairan Papua sejak abad pertengahan hingga awal abad ke 20. Tak ketinggalan kisah kelam alur jual-beli budak Papua dan pelayaran para perompak Papua jauh sebelumnya.
Seperti disebutkan oleh Pdt. Dr F.C. Kamma, “Orang-orang Papua bekerja di kapal-kapal orang Tidore sebagai pendayung. Pelayaran terjauh yang mereka lakukan, yang kita ketahui dari data-data resmi, mereka berlayar jauh sampai ke laut Jawa, bahkan semenanjung Malaka dan sekitarnya dan mengancam alur perdagangan di laut Jawa hingga Selat Malaka seperti di sebutkan dalam catatan Pieter Mijer gubernur-jenderal Hindia Belanda yang ke-53. ia memerintah antara tahun 1866–1872” (Kamma, 1981:62). Selain itu, catatan sejarah kontak orang asli Papua dengan bangsa asing dapat pula diendus melalui berbagai peninggalan lain, yang menurut pendapat Balai Arkeologi Papua dipastikan lebih lama sekitar 3500 – 2500 tahun silam. Seperti artefak kapak corong dan kapak mata bundar di kawasan Danau Sentani misalnya. Hal ini mengindikasikan adanya jaringan perdagangan orang berbudaya “Lapita”, yang adalah salah satu jaringan dagang yang paling mula-mula sekaligus paling luas jangkauannya pada jaman prasejarah, hingga mencapai Sabah di barat dan kepulauan Fiji di timur.
Demikian dapat disebutkan bahwa Integrasi politik Tanah Papua ke dalam wilayah NKRI bukan saja terjadi pada tanggal 1 Mei 1963, tetapi sejauh ratusan tahun silam, Papua telah menjadi wilayah kesatuan maritim, kesatuan politik, kesatuan ekonomi dan kesatuan sosial-budaya yang utuh dengan kawasan lainnya di Nusantara.
Jikalau kita percaya bahwa sejarah umat manusia dipimpin oleh Tuhan Yang Maha Kuasa yang berperintah menurut kebesaran kedaulatanNya, maka sudah barang tentu sejarah Tanah Papua juga dipimpin dan diatur oleh Tuhan menurut kebebasan kehendak dan kuasa-Nya.
Para teolog Protestan Papua mencatatkan beberapa pemikiran kritis historis atas integrasi Tanah Papua ke dalam NKRI sebagai berikut:
Pertama ; Integrasi Papua ke dalam Indonesia dipersiapkan oleh Tuhan pemimpin sejarah jauh sebelum 1 Mei 1963. Tuhan menetapkan garis linier kesejarahan Tanah Papua dengan kepulauan sebelah Barat Tanah Papua yaitu Indonesia dan bukan sebaliknya ke sebelah Timur dengan kepulauan Pasifik atau ke selatan dengan Benua Australia. Bukan pula ke Utara dengan kepulauan Jepang. Melainkan kedatangan para pekabar injil (misionaris) pertama ke Tanah Papua, datang dari Batavia (Jakarta), belajar Bahasa Indonesia (Melayu) di Batavia sebelum ke Tidore sebagai basis akhir menuju Tanah Papua. Menurut sejarawan Indonesia Des Alwi, di Tidore pada tahun 1825 tercatat 25.000 orang Papua yang tinggal dan bekerja disana dan di pulau-pulau lain di Maluku Utara sampai Sulawesi Utara. Mereka adalah para budak yang diperjualbelikan oleh para Mambri Papua kepada Sultan Tidore dan oleh sultan kepada para Kolonis Portugis dan kemudian juga Belanda pengusaha perkebunan kelapa, cengkeh dan pala atau dipekerjakan sebagai pendayung perahu-perahu kembara.
Kedua, Jauh sebelum integrasi politik 1 Mei penggunaan Bahasa Melayu (sekarang bahasa Indonesia) telah dipergunakan secara luas oleh orang Papua sebagai bahasa komunikasi antar masyarakat terutama orang-orang Papua dibagian Barat – Tenggara bahkan Teluk Cenderawasih (Saireri). Dalam catatan para pelancong, Pulau Mansinam adalah tempat persinggahan para pelayar antara kepulauan Biak Numfor dan Tidore, semacam tempat transit para pelaut. Interaksi sosial budaya ini dapat ditemukan dalam narasi-narasi kisah legendaris dan patriotik suku-suku asli di pesisir dan kepulauan Papua bahkan barang-barang seperti guci dan piring-piring antik buatan Cina banyak bersebaran di Tanah Papua dan dipergunakan sebagai alat tukar dan mahar perkawinan.
Ketiga, dalam catatan sejarah, Papua pernah menjadi wilayah kekuasaan kerajaan Spanyol, ketika Inigo Ortiz de Retes 1545 menancapkan bendera Spanyol di Muara Mamberamo dan memberikan nama Tanah Papua sebagai Nova Guinea. Pada tahun 1793, pasukan Inggris di bawah pimpinan Kapten John Hayes membangun pemukiman di Manokwari, sebuah benteng yang diberi nama Fort Coronation. Selanjutnya, Belanda menempatkan sepasukan tentara di Teluk Triton Barat Daya Tanah Papua dan memberi nama pemukiman pasukan Belanda sebagai Fort Du Bus. Benteng Fort Du Bus Ini diresmikan pada 24 Agustus 1828, dimana benteng ini adalah benteng sebagai basis pertahanan pertama yang dibuat oleh pemerintah pada zaman itu.
Ke-empat, orang Papua yang saat ini disebut sebagai Indonesia tidak memiliki hubungan emosional apalagi hubungan sosial ekonomi dan politik dengan saudara-saudaranya di sebelah Timur Tanah Papua. Kemerdekaan bagian Timur Tanah Papua menjadi negara Papua New Guinea tidak sedikitpun menarik minat orang Papua Indonesia untuk bergabung atau menggabungkan kedua wilayah ini menjadi satu negera kendati hanya bersebelahan daratan.
Dari sekelumit catatan sejarah sebagaimana tertulis di atas, dapat disimpulkan bahwa arah pergerakan aktivitas sosial budaya keluar dan ke dalam wilayah Papua datang dari kawasan Barat Tanah Papua, yaitu dari Indonesia. Terlebih pada saat peradaban baru dimulai dengan berdirinya sekolah peradaban dan sekolah – sekolah pekabaran Injil yang sejak 1855 sampai 1963, selama kurun waktu 108 tahun sangat dipengaruhi oleh kehadiran para pendidik (guru-guru) dari Sulawesi Utara, terutama dari kepulauan Sangir Talaud dan pulau-pulau sekitarnya, kemudian juga guru-guru asal kepulauan Maluku yang bekerja dan mengabdi di berbagai pelosok Tanah Papua bagian Utara.
Di belahan Selatan sampai Barat Daya Tanah Papua menjadi medan pelayanan para guru dan diaken asal Maluku Tenggara (Kepulauan Kei dan Tanimbar), serta guru-guru asal Flores dan Timor yang semuanya menggunakan bahasa Indonesia sebagai bahasa pengantar. Tuhan mempersiapkan Tanah Papua menjadi bagian dari Republik Indonesia jauh sebelum Indonesia merdeka, ini yang disebut sebagai fakta Motivasi Tuhan.
Proses integrasi yang terjadi pada tanggal 1 Mei 1963 sebagai realisasi politik dekolonisasi seakan mendorong posisi Papua dalam peta geografi ke dalam wilayah negara Republik Indonesia. Sementara di kalangan orang asli Papua saat ini beredar kesadaran bahwa Tanah Papua dicaplok oleh NKRI sebagai tindakan invasif dan kolonialisme baru.
Namun apabila menghayati dan memaknai proses sejarah peradaban Tanah Papua sejak abad pertengahan hingga 1855 dimulainya peradaban baru melalui pekabaran Injil oleh misionaris asal German Carl Wilhem Ottouw dan Johann Gottlob Geisller, serta perkembangan 108 tahun sesudahnya, dapat disebutkan bahwa orang asli Papua dan wilayah Tanah Papua telah terintegrasi secara emosional, secara sosial budaya, sosial ekonomi bahkan sosial politik atau secara historis dengan saudara-saudaranya di Nusantara, jauh sebelum Indonesia merdeka 17 Agustus 1945, jauh sebelum Indonesia disebut sebagai Negera Republik Indonesia.
Oleh karena itu, tanggal 1 Mei bagi orang Papua dapat disebut sebagai deklarasi Motivasi Tuhan atas Tanah Papua. Seluruh upaya pembangunan pasca integrasi hingga pemekaran daerah otonom saat ini pun perlu diterjemahkan dari sudut pandang Terang Injil Kristus. Tuhan tentu tidak menginginkan bangsa ini tinggal dalam keterbelakangan. Namun di sisi lain juga ada beberapa pimpinan gereja yang memiliki interpretasi politik berbeda serta menolak agenda pembangunan atas dasar kekhawatiran akan tersisihnya Orang Asli Papua.
Padahal hukum kasih dan perintah penginjilan dari Yesus bersifat universal tanpa membedakan suku, bangsa, ras, warna kulit, jenis rambut, maupun bahasa. Yesus tidak membeda-bedakan orang, dan bahkan mengajarkan untuk mendoakan serta mengasihi musuh.
Teori perintah Ilahi (juga dikenal sebagai volunterisme teologis) adalah sebuah teori meta-etika yang menyatakan bahwa “status suatu tindakan dianggap sebagai baik secara moral apabila tindakan itu sesuai dengan apa yang diperintahkan oleh Tuhan.” Teori ini menyatakan bahwa apa yang disebut bermoral ditentukan oleh perintah Tuhan dan seseorang yang bermoral harus mengikuti perintah Tuhan.
Pengikut agama monoteistik dan politeistik pada zaman dahulu hingga sekarang sering menerima pentingnya perintah Tuhan dalam membangun moralitas. Maka melaui tulisan ini, saya mengajak kaum moralis di Tanah Papua, marilah kita membangun Tanah Papua menurut kehendak Ilahi, Tuhan Yang Maha Kuasa yang tetap memimpin sejarah Tanah Papua sampai nanti.
“Catatan Penting Pdt. Freddy H Toam. M. Si untuk menghayati dan memaknai integrasi Papua ke dalam NKRI 1 Mei 1963”