Pasificpos.com – Video penyiksaan terhadap Orang Asli Papua (OAP) yang direndam dalam drum berwarna biru berisi air dan mengalami berbagai tindak penyiksaan seperti dimaki, dipukul, dicambuk, disayat dan ditikam hingga mengakibatkan korban kehilangan nyawa menimbulkan kemarahan di media sosial. Berdasarkan video tersebut teridentifikasi Pelaku merupakan anggota TNI yang berafiliasi dengan Satuan III/Siliwangi, Yonif Raider 300/Brawijaya, unit ini dikirim pada Februari awal 2024 ke Kabupaten Puncak untuk melakukan operasi penggerebekan di Omukia dan Gome. Kasus ini merupakan satu yang terdokumentasi dari sekian banyak tindak kekerasan hingga pembunuhan di luar hukum (extrajudicial killing) diakibatkan pendekatan sekuritisasi berbasis pertahanan dan keamanan dalam negeri oleh Kepolisian dan TNI tiap tahunnya.
Penggunaan pendekatan sekuritisasi untuk ‘mengamankan’ tanah Papua yang disebut sebagai kawasan rawan konflik dan banyak terjadi pemberontakan separatisme, hanyalah justifikasi dari berbagai tindakan represif yang merupakan bentuk penjajahan terhadap hak asasi warga Papua. Upaya membungkam OAP telah dilakukan sejak Papua jatuh ke tangan Indonesia pada tahun 1962, dan dieksploitasi secara habis-habisan SDA nya secara resmi dan sah menurut hukum sejak 1967 dengan terbitnya UU Penanaman Modal Asing yang disahkan oleh Soeharto.
OAP diposisikan seperti pengemis di tanahnya sendiri dan bagian dari bangsa yang peradabannya tidak mengalami kemajuan, padahal hak dasarnya tidak terpenuhi oleh negara. Pemerintah Indonesia memiliki tanggung jawab untuk memastikan terpenuhinya hak asasi warga Papua sebagai bagian dari WNI, namun pemerintah karena sejak awal yang diperebutkan dari tanah Papua hanya SDA nya yang sangat kaya. Ketika berhasil mendapatkan Papua Negara berlaku selayaknya penjajah, mengamini keterbelakangan dan lambannya kemajuan di tanah Papua. Memeliharanya sebagai wilayah konflik dengan pengamanan ketat untuk mengamankan investasi sebesar ribuan triliun demi kepentingan para pemodal, pengusaha, dan penguasa.
Selayaknya wilayah konflik, setiap tahunnya di Papua jumlah peristiwa pelanggaran HAM terus mengalami peningkatan dan memakan semakin banyak korban. Menurut monitoring yang dilakukan PBHI, pada tahun 2022 tercatat setidaknya 32 peristiwa, yang kemudian meningkat di tahun 2023 menjadi 44 peristiwa pelanggaran HAM dengan total jumlah korban sebanyak 527 orang. Data peristiwa yang dikumpulkan PBHI didapat langsung dari korban, pegiat kemanusiaan di Papua, pendamping korban, data proses hukum yang diakui oleh APH, serta konfirmasi berdasarkan pemberitaan media massa yang dinaungi dewan pers.
PBHI menemukan sepanjang tahun 2023 pelanggaran HAM paling banyak terjadi di Papua berkaitan dengan kebebasan berkumpul sebanyak 43,9%, dan pelanggaran hak atas rasa aman sebesar 51,2%. Ketika dilakukan verifikasi data, ditemukan bahwa seringkali ketika OAP berkumpul dan menyampaikan pendapat di muka umum, maka langsung muncul tuduhan upaya makar dan pemberontakan separatisme yang berafiliasi dengan kelompok kriminal bersenjata (KKB). Tuduhan tak berdasar seperti ini ditemukan sebanyak 10,8% yang paling banyak dilakukan oleh Polisi, tuduhan separatisme tanpa bukti penguat dibuat sebagai justifikasi atau dalih demi keamanan dalam negeri yang lalu membenarkan tindakan pelanggaran HAM dan hukum yang dilakukan Polisi dan TNI terhadap warga Papua.
PBHI menemukan bahwa pintu dari berbagai peristiwa kekerasan lainnya berawal dari tindak tuduhan tak berdasar. Seringkali saat kelompok OAP yang berkumpul dianggap akan melakukan pemberontakan. Hal ini lalu ditindaklanjuti dengan penggerebekan, pembubaran paksa, penangkapan, pemukulan, kekerasan seksual, bahkan pembunuhan oleh Polisi dan TNI. PBHI mendata setidaknya terdapat sebanyak 109 korban mengalami luka-luka sedang hingga berat yang mengakibatkan cacat dan 41 orang kehilangan nyawa, dengan persentase korban laki-laki sebanyak 81,4%, diikuti korban anak sebanyak 29%, dan korban perempuan sebesar 18,6%.
Peristiwa dalam video yang viral di media sosial setelah dilakukan verifikasi ke pegiat kemanusiaan di Papua dan pendamping korban, ditemukan bahwa penyiksaan terhadap korban dilakukan atas dasar tuduhan memiliki afiliasi dengan KKB. Korban dianggap mengancam stabilitas negara dan para pelaku yang merupakan anggota militer aktif sedang melakukan upaya pengamanan. Berdasarkan pemantauan tahunan rutin yang dilakukan oleh PBHI, kami menyimpulkan situasi gangguan keamanan yang dikeluhkan di Papua merupakan hasil produksi rekayasa negara yang dilakukan melalui aktor TNI dan Polri. Pendekatan sekuritisasi dengan tindakan represif yang sarat akan kekerasan dan seringkali berujung memakan korban jiwa terus dilakukan Negara, bahkan tiap tahunnya terjadi peningkatan pengerahan pasukan keamanan yang menjadikan tanah Papua seperti area peperangan. Padahal yang dihadapi para aparat ini merupakan masyarakat sipil OAP yang merupakan bagian dari warga negara Indonesia.
PBHI juga menilai bahwa keberulangan atas peristiwa kekerasan di Papua yang dilakukan oleh aparat TNI juga tidak dapat dilepaskan dari praktik pembiaran. Khususnya ketika kasus tersebut terjadi di Papua yang dianggap wilayah konflik dan pelaku merupakan anggota militer aktif. Walaupun jelas sudah melakukan tindak pidana dan seharusnya diadili melalui mekanisme peradilan umum, pelaku akhirnya hanya akan disidang melalui peradilan militer yang tertutup dan dijatuhi vonis hukuman sangat ringan sehingga tidak memberikan keadilan bagi korban. Carut marut peradilan militer yang sejak reformasi belum terselesaikan hingga hari ini memang pada akhirnya
menjadi sarang impunitas dan justifikasi bahwa yang dilakukan pelaku merupakan suatu tugas negara sebagai anggota militer aktif dan dimaklumi.
Penulis : Perhimpunan Bantuan Hukum dan Hak Asasi Manusia Indonesia (PBHI)
Julius Ibrani -Ketua PBHI
Annisa Azzahra -Advokasi PBHI