Soal Regulasi Batas Penghasilan Maksimal MBR
Jayapura – Mengutip laman ppdp.id, Pemerintah kembali memperbarui regulasi seputar pembiayaan perumahan bagi Masyarakat Berpenghasilan Rendah (MBR) termasuk Fasilitas Likuiditas Pembiayaan Perumahan (FLPP).
Regulasi tersebut yaitu Keputusan Menteri Pekerjaan Umum dan Perumahan Rakyat Nomor 242/KPTS/M/2020 diterbitkan pada tanggal 24 Maret 2020 tentang Batasan Penghasilan Kelompok Sasaran Kredit/Pembiayaan Pemilikan Rumah Bersubsidi, Besaran Suku Bunga/Marjin Pembiayaan Bersubsidi, Lama Masa Subsidi dan Jangka Waktu Kredit/Pembiayaan Pemilikan Rumah, Batasan Harga Jual Rumah Umum Tapak dan Satuan Rumah Susun Umum, Batasa Luas Tanah dan Luas Lantai Rumah Umum Tapak, Luas Lantai Satuan Rumah Susun Umum Serta Besaran Subsidi Bantuan Uang Muka Perumahan.
Regulasi tersebut telah berlaku 1 April 2020. Pada Diktum KEDUA berbunyi “Batasan penghasilan kelompok sasaran yang dapat memanfaatkan KPR Bersubsidi sebagaimana dimaksud dalam Diktum KESATU huruf A angka 1 dihitung berdasarkan seluruh pendapatan bersih yang bersumber dari :
a.gaji, upah, dan/atau hasil usaha sendiri untuk yang berstatus tidak kawin; atau
b. gaji, upah, dan/atau hasil usaha gabungan untuk pasangan suami istri.
Menanggapi hal itu, Ketua Umum DPD Real Estate Indonesia (REI) Provinsi Papua, Nelly Suryani mengatakan telah meminta kepada Pemerintah dalam hal ini Kementerian Pekerjaan Umum dan Perumahan Rakyat (Kemen PUPR) melalui Direktorat Jenderal Pembiayaan Infrastruktur untuk mengevaluasi peraturan tersebut terutama pada batas penghasilan MBR maksimal Rp8 juta.
“Dalam regulasi tersebut diatur batas penghasilan MBR maksimal Rp8 juta yang sebelumnya Rp4 juta. Untuk wilayah di luar Papua, sangat disambut baik oleh pengembang, tapi khusus kami di Papua, batas maksimal tidak bisa diimplementasikan jika ingin menyediakan rumah layak huni bagi MBR,” ucap Nelly melalui telepon seluler, Rabu (4/11/2020).
Menurutnya, regulasi sebelumnya layak berlaku di Papua lantaran MBR berpenghasilan maksimal Rp4 juta tetapi tidak ada batas akhir penghasilan bagi pasangan suami istri.
“Gaji pokok memang sama, tetapi tunjangan dan lainnya bisa saja berbeda, misalnya daerah pegunungan dan pesisir di Papua, itu tunjangannya tidak sama, jika suami istri mereka termasuk kelompok MBR, namun jika digabungkan gaji mereka, bisa lebih dari Rp8 juta, inilah yang sulit diakses bagi masyarakat berpenghasilan rendah di Papua,” tandasnya.
“Kementerian terkait seperti tidak peduli MBR Papua, bahkan mau disetop. Kalau regulasi tidak berubah, pelan – pelan akan mati suri juga. Kami sudah sampaikan melalui REI Pusat dalam kegiatan zoom meeting pada 4 Juni lalu, dan sudah dijanjikan akan dievaluasi, tapi nyatanya sampai saat ini belum terealisasi,” lanjut dia.
Nelly mengatakan, bahwa harga jual rumah bersubsidi di Papua 70 persen lebih tinggi dibandingkan di pulau Jawa, tetapi batas penghasilan maksimal Rp8 juta berlaku se-Indonesia akan sulit diakses oleh MBR.
Selain regulasi tersebut, Nelly juga menilai sistim dari perbankan untuk MBR cukup ketat terlebih di masa pandemi Covid-19.
Dia menyebut dua pertiga anggota REI Papua tidak dapat melakukan akad kredit di perbankan lantaran aturan yang ketat. Nelly mencontohkan, 10 MBR yang ajukan rumah bersubsidi, tidak disetujui oleh bank.
“Hingga awal November ini, tidak sampai 10 persen yang akad, dari Bank BTN kurang lebih 189 unit dari target 2.200 unit, dari Bank Papua kurang lebih 200 unit dari target 2.800 unit. Saat ini rumah yang siap huni tersedia kurang lebih 1.500 unit,” tandasnya. (Zulkifli)