Jayapura – Tokoh kesehatan Papua, drg. Aloysius Giyai merespon temuan anggota Komisi V DPR Papua, Decky Nawipa terkait buruknya pelayanan di RSUD Nabire, Provinsi Papua Tengah, sebagaimana dirilis media rri.co.id, Kamis, 18 Januari 2024.
Usai inspeksi mendadak (sidak) di rumah sakit itu, Decky Nawipa kepada pers menyampaikan sejumlah keluhan yang diterimanya dari pasien Orang Asli Papua (OAP), terutama terkait pelayanan obat-obatan dan kepesertaan BPJS Kesehatan.
Menurut Aloysius, baik temuan legislator yang mengungkap fakta keluhan pelayanan itu maupun penjelasan dari pihak Humas RSUD Nabire adalah dua fakta yang benar adanya. Pihak RSUD Nabire mengaku sedang kekurangan dana karena membayar utang obat-obatan sejak hilangnya program Kartu Papua Sehat (KPS) dari 2020 lalu.
Selain itu, RSUD Nabire adalah milik Pemerintah Kabupaten Nabire, tidak hanya melayani masyarakat Nabire semata. Fasilitas kesehatan ini juga melayani pasien dari tujuh kabupaten lain di Provinsi Papua Tengah, dan beberapa kabupaten sekitar di luar Papua Tengah seperti Waropen, Yapen dan Wondama.
“Melihat permasalahan ini, sebagai pencetus jaminan kesehatan bagi Orang Asli Papua baik Jamkespa maupun Kartu Papua Sehat, saya tentu merasa sangat prihatin. Apalagi, Kepala Dinas Kesehatan Pengendalian Penduduk dan Keluarga Berencana Provinsi Papua Tengah sejak 2023 telah meluncurkan program Kartu Otonomi Khusus Sehat (KO SEHAT), dimana seluruh pasien yang dirujukan ke RSUD Jayapura dan beberapa rumah sakit di Jayapura berjalan dengan baik,” kata Aloysius dalam siaran pers, Jumat (19/1/2024).
Bagi Aloysius Giyai, status RSUD Nabire sebagai faskes milik Pemerintah Kabupaten Nabire menjadi salah satu penyebab timbulnya persoalan layanan yang dikeluhkan itu. Sebab hal ini berkaitan dengan anggaran atau pembiyaan, dimana banyak pasien datang dari luar Kabupaten Nabire.
“Namun, dari sisi wilayah layanan masyarakat dan akses pelayanan, biar bagaimana pun, ini adalah tanggung jawab pelayanan Pemerintah Provinsi Papua Tengah, terutama melalui Dinas Kesehatan. Oleh karena itu, saya memberikan beberapa solusi sementara untuk mengatasi persoalan ini. Sebab kita tidak bisa tangisi dan biarkan keadaan ini berlama-lama, kasihan pasien dari masyarakat kecil yang tidak mampu,” tutur Aloysius.
Pertama, berkaitan dengan status kepemilikan, kewenangan dan penganggaran RSUD Nabire, maka Kepala Dinas Kesehatan Pengendalian Penduduk dan Keluarga Berencana Provinsi Papua Tengah bisa membuka ruang atau pos penanganan obat di RSUD Nabire dengan menggunakan dana program KO SEHAT.
“Apa yang sudah saudara Dokter Silwanus Sumule selaku Kepala Dinas Kesehatan Papua Tengah lakukan itu luar biasa. Karena itu, saya sarankan, tidak boleh dalam waktu yang lama tapi satu dua hari ini harus bangun koordinasi dengan Direktur RSUD Nabire dan Bupati Nabire agar Pemerintah Provinsi Papua Tengah mempergunakan dana program KO SEHAT untuk segera membuka ruang penanganan obat, bahan habis pakai dan Alkes di RSUD Nabire,” kata Aloysius.
“Resep-resep obat yang diterima pasien Orang Asli Papua tidak mampu ber-KTP Papua Tengah dan memiliki kartu BPJS harus di-back up oleh program KO SEHAT ini,” tegasnya.
Kedua, Pemerintah Provinsi Papua Tengah harus mengambiil sikap untuk menanggung kelebihan atau kekurangan obat-obatan dalam paket Ina-CBG’S dalam pelayanan BPJS.
Sebab hal ini dijamin dalam Undang-Undang Otonomi Khusus (Otsus) yang menegaskan bahwa terkait pembiyaan kesehatan bagi masyarakat tidak mampu di Papua, selain disiapkan oleh Pemerintah Pusat melalui JKN-KIS, bisa di-back up kekurangannya dengan menggunakan dana Otsus.
Ketiga, Pemerintah Provinsi Papua Tengah melalui Dinas Kesehatan juga bisa membantu RSUD Nabire untuk pengadaan obat-obatan, bahan habis pakai, dan Alkes dengan membuka Apotik Komplementer di RSUD Nabire, dimana operasionalnya kolaborasi antara dari Dinas Kesehatan Papua Tengah dan RSUD Nabire.
“Tetapi tentu saja seluruh pembiayaannya dari program KO SEHAT. Sebab RSUD Nabire sedang mengalami kekurangan dana untuk menyediakannya akibat sejumlah utang di distributor obat. Solusi ini harus segera diambil supaya pasien tidak mampu Orang Asli Papua tidak boleh dibiarkan terus-menerus memegang resep, mencari dan membeli obat di luar rumah sakit,” kata Aloysius yang kini menjabat Direktur RSUD Jayapura.