Jayapura – Pelaku Industri Jasa Keuangan mengapresiasi kebijakan stimulus Otoritas Jasa Keuangan (OJK) terhadap debitur-debitur yang terdampak Coronavirus Diseases 2019 (Covid-19).
Direktur Bisnis PT Bank Pembangunan Daerah Papua (Bank Papua) Sadar Sebayang mengatakan bahwa kebijakan relaksasi yang dikeluarkan OJK juga berdampak bagi Bank Papua.
“Kualitas kredit Bank Papua bisa terjaga relatif tetap stabil,” ujar Sadar, Senin (21/9/2020).
Per Juli 2020, NPL gross Bank Papua sebesar 4,81 persen atau membaik jika dibandingkan dengan posisi Maret sebesar 5 persen (sebelum diberlakukan kebijakan restrukturisasi kredit OJK).
Menurutnya, pencapaian tersebut diperoleh antara lain melalui restrukturisasi 511 debitur di Provinsi Papua dengan baki debet Rp353 miliar atau 36 persen dari total debitur yang direstrukturisasi di seluruh kantor cabang di Indonesia.
“Bentuk restrukturisasi yang diberikan berupa penundaan pembayaran pokok dan perpanjangan jangka waktu kredit,” ucapnya.
Sadar menambahkan beberapa inisiasi yang dapat dikeluarkan oleh OJK khusus dimana pandemi saat ini yakni OJK dapat melakukan pelonggaran batas toleransi NPL dari sebesar 5 persen menjadi 7 persen – 8 perseb dan pelaksanaan secara bertahap kewajiban pembentukan cadangan kerugian atas penerapan PSAK 71.
Pimpinan Wilayah BRI Papua dan Papua Barat, Darwaji mengungkapkan kebijakan restrukturisasi OJK sangat membantu nasabah dan pihak bank.
Bagi nasabah, kata Darwaji, kebijakan restrukturisasi memberikan kesempatan untuk menyesuaikan arus kas (cashflow) terhadap kewajibannya. Bagi pihak bank, kebijakan itu memberikan ruang untuk lebih fleksibel dalam menjaga kualitas kredit.
“Restrukturisasi yang diberikan berupa penundaan pembayaran bunga. Hal tersebut menurunkan profitabilitas Bank sehingga margin bunga bersih menurun,” kata Darwaji.
“Namun, di sisi lain, beban kewajiban pembentukan cadangan kerugian aktiva produktif menurun seiring dengan perbaikan kualitas kredit,” lanjutnya.
Ia berharap OJK dapat memperpanjang masa berlaku kebijakan restrukturisasi kredit dan menurunkan batas uang muka (down payment) dari kredit konsumtif.
Sementara itu, Ketua DPD Perhimpunan Bank Perkreditan Rakyat Indonesia (Perbarindo) Papua dan Maluku, Arif Windarto mengungkapkan kebijakan restrukturisasi OJK sangat membantu.
“Baik karena dampak dari penyebaran pandemi Covid-19 sangat berpengaruh negatif terhadap kinerja sebagian besar BPR terutama sisi likuiditas, potensi kenaikan NPL, kenaikan PPAP, penurunan potensi ekspansi baik kredit (lending) maupun pendanaan (funding), menurunnya pendapatan, dan kenaikan biaya operasional (biaya protokol kesehatan),” ucap Arif.
“Dari sisi calon debitur atau debitur juga sangat terdampak oleh pandemik ini sehingga menyebabkan menurunnya kinerja usaha/kemampuan untuk membayar kembali kewajiban,” kata Arif.
Dengan adanya kebijakan ini, lanjut dia, setidaknya beban debitur juga berkurang lantaran adanya perpanjangan atau penjadwalan ulang pembayaran pokok, pengurangan atau penundaan pembayaran bunga kredit dan seterusnya.
Hingga akhir Juli 2020, sebanyak 341 debitur BPR di Provinsi Papua telah direstrukturisasi fasilitas kreditnya dengan baki debet Rp22,37 miliar. Debitur-debitur tersebut terdiri dari 276 debitur UMKM (Rp21 miliar) dan 65 debitur non-UMKM (Rp1,28 miliar).
Meski begitu, kalangan industri berharap terdapat kebijakan lanjutan dari OJK demi menjaga kestabilan industri keuangan di masa pandemi Covid-19. Sebab, pandemi dunia ini belum diketahui secara pasti masa berakhirnya.
Arief mengharapkan agar kebijakan ini dapat diperpanjang sampai tahun 2022 atau 2023 karena penyebaran pandemi global ini begitu luar biasa menyentuh seluruh lapisan dan kegiatan masyarakat. Debitur memerlukan waktu pemulihan (recovery) yang cukup panjang.
“Kami juga mengusulkan adanya perpanjangan untuk POJK 34/2020 terkait perhitungan PPAP umum dan nilai AYDA sebagai pengurang modal inti dalam perhitungan KPMM tidak hanya sampai 31 maret 2021 tetapi bisa direlaksasi sampai tahun 2022 -2023,” ujarnya.
Direktur Utama BPR Phidectama Abepura, Abraham Fonataba mengatakan kebijakan yang dikeluarkan OJK ini tentu memberikan kemudahan bagi UMKM yang penurunan pendapatan/omset usaha sebagai akibat penurunan aktivitas bisnis dari penyebaran pandemik sejak Desember 2019.
Kondisi tersebut menyebabkan mereka kesulitan pembayaran pinjaman kepada bank.
“BPR mulai merasakan dampak penyebaran Covid-19 terhadap kinerja bisnis sejak bulan April 2020. BPR harus melakukan pembentukan biaya yang sangat besar terutama dalam pembentukan PPAP Kredit dari debitur-debitur yang kesulitan melakukan pembayaran,” ungkapnya.
Untuk mengatasi kondisi tersebut, lanjutnya, BPR melakukan restrukturisasi kredit terhadap debitur-debitur yang terdampak. BPR Phidectama Abepura telah merestrukturisasi 61 debitur dengan baki debet Rp2,38 miliar. Debitur-debitur tersebut terdiri dari 49 debitur UMKM dan 12 debitur non-UMKM.