Jayapura : Komisi V DPR Papua bidang Pendidikan dan Kesehatan menerima aspirasi dari sejumlah perwakilan guru atau tenaga pendidik di tingkat SMA/SMK yang ada di Kabupaten Yapen dan Waropen, terkait penolakan para guru SMA/SMK untuk dialihkan kembali ke Kabupaten/Kota.
Sebelum menerima aspirasi tersebut, terlebih dahulu dilakukan Rapat Dengar Pendapat (RDP) bersama para guru atau tenaga pendidik di tingkat SMA/SMK di Kabupaten Kepulauan Yapen dan Waropen, yang dipimpin langsung oleh Ketua Komisi V DPR Papua, Timiles Yikwa, SE didampingi beberapa Anggota Komisi V DPR Papua, diantaranya Natan Pahabol, Hengky Bayage dan Pieter Kwano serta staf ahli Komisi V yang berlangsung di ruang Banggar DPR Papua, Senin 23 Mei 2022.
Alasan para guru atau tenaga pendidik ini menolak untuk dikembaikan ke kabupaten, lantaran sejak kewenangan SMA/SMK dialihkan dari kabupaten/kota ke Provinsi Papua pada tahun 2018 lalu, para guru dan tenaga pendidik ini, merasakan kesejahteraan dan pelayanan yang lebih baik dibandingkan mereka berada di kabupaten/kota.
Sebab, dari hasil survey yang dilakukan, para guru SMA/SMK di Kabupaten Kepulauan Yapen dan Waropen itu, lebih memilih agar mereka tetap berada di bawah Dinas Pendidikan Perpustakaan dan Arsip Daerah Provinsi Papua, dibanding harus berada lagi dibawah Dinas Pendidikan yang ada di kabupaten/kota.
“Kesimpulannya, dari hasil survey itu, kami ingin tetap ada di provinsi, apalagi lahirnya UU Nomor 2 Tahun 2021 tentang Perubahan Kedua atas UU Nomor 21 Tahun 2001 tentang Otonomi Khusus bagi Provinsi Papua dan PP Nomor 106 Tahun 2021 tentang Kewenangan dan Kelembagaan Pelaksanaan Kebijakan Otonomi Khusus Provinsi Papua, yang sampai hari ini masih diperdebatkan di MK. MRP sedang berjuang itu, karena dianggap menimbulkan dampak luar biasa bagi Orang Asli Papua,” kata Juru Bicara Forum Guru Kabupaten Kepulauan Yapen dan Waropen Phipilus Wairara, MPd kepada Pasific Pos, usai mengikuti Rapat Dengar Pendapat Bersama Komisi V DPR Papua di Ruang Banggar, Selasa, 23 Mei 2022.
Pasalnya, ungkap Philipus Wairara, para guru SMA/SMK merasa bingung mau berlindung di payung hukum yang mana sejak ditetapkannya UU Nomor 2 Tahun 2021 tentang Otsus bagi Provinsi Papua dan turunnya PP Nomor 106 tahun 2021 itu.
“Sehingga, itu yang membuat kami tidak konsen mengajar karena terkait dengan pengalihan kembali guru SMA/SMK dari provinsi ke kabupaten/kota. Ya, memang tidak secara spesifik peralihan guru SMA/SMK itu tertuang di dalam UU Otsus, namun dalam PP 106 mengatur soal penganggarannya pendidikan ada di kabupaten/kota,” jelasnya.Guru SMK YPK Serui itu.
Untuk itu, tandas Guru SMK YPK Serui ini, para guru SMA/SMK yang ada di Kabupaten Kepulauan Yapen dan Waropen telah bertekad tidak akan kembali ke kabupaten/kota dan tetap akan berada di Provinsi Papua.
“Jadi, kami minta bantuan Komisi V DPR Papua untuk memperjuangkan nasib para guru SMA/SMK ini, dengan mencari solusinya. Mungkin melalui Perdasi atau Pergub yang mengatur, agar guru SMA/SMK tetap di provinsi,” tandas Philipus.
Namun diakui, jika pasca keluarnya UU Nomor 2 Tahun 2021 tentang Otsus dan turunnya PP 106, dimana guru SMA/SMK dikembalikan dari provinsi ke kabupaten/kota, untuk itu pihaknya melakukan survey kepada 282 guru SMA/SMK dan 81 tenaga kependidikan yang ASN di Kabupaten Kepulauan Yapen dan Waropen
“Sehingga, dari survey itulah, kami dapat melihat dampak positif dan negatif ketika kami ada di kabupaten/kota dan ketika kami provinsi. Bahkan, dari angket itu, kemudian lahir beberapa pokok pikiran, yang pertama lahirnya UU Otsus dan PP 106 dia bertentangan dengan UU 23 Tahun 2014 tentang Pemerintahan Daerah, bahwa kami tenaga pendidik dan kependidikan di Provinsi Papua pada tahun 2018 dialihkan ke Provinsi Papua. Namun, UU 23 itu belum dirubah, lalu lahir UU Otsus, padahal dalam UU Otsus itu tidak secara spesifik dan jelas menyatakan bahwa tenaga pendidik dan kependidikan tingkat SMA/SMK itu dikembalikan ke kabupaten/kota,” paparnya.
Apalagi lanjut Wairara, dari hasil survey itu, jika dikembalikan ke kabupaten/kota, maka akan muncul dampak negatif seperti sebelum tahun 2018 dalam perekrutan calon kepala sekolah itu, tidak dilakukan sesuai aturan, namun rekrutmen calon kepala sekolah itu berdasarkan suka dan tidak suka.
“Lebih parah lagi, yang terlibat dalam tim sukses, itu yang diangkat sebagai kepala sekolah. Padahal, dalam pengangkatan kepala sekolah itu harus sesuai Permendikbud Nomor 40 Tahun 2016 ada tahapannya yang harus dilakukan,” bebernya.
Selain itu, kata Wairara, dana pendidikan di kabupaten itu, lebih banyak pada pembangunan infrastruktur, sedangkan diketahui pendidikan itu akan maju melalui guru dan siswa.
“Kita tidak bisa pungkiri bahwa kesejahteraan itu berbanding lurus dengan kinerja. Kalau kesejahteraan guru baik, dia akan mengajar dengan nyaman di kelas, tapi jika kesejahteraan tidak baik, dia tidak nyaman di kelas dan akan lebih mengutamakan ekonomi keluarga atau mencari penghasilan tambahan di luar,” terangnya.
Sementara itu, Ketua Komisi V DPR Papua, Timiles Yikwa, SE mengaku jika pihaknya telah menerima aspirasi dari para guru SMA/SMK dari Kabupaten Kepulauan Yapen dan Waropen itu.
“Kami akan lanjutkan aspirasi perwakilan guru SMA/SMK dari wilayah Saireri ini ke pimpinan DPR Papua untuk diteruskan ke pemerintah pusat. Aspirasi serupa juga telah disampaikan para guru SMA/SMK dari wilayah Meepago, Laapago dan Mamta. Aspirasinya sama, mereka menolak dialihkan ke kabupaten/kota.” ujar Timiles Yikwa.
Apalagi, kata Politisi Partai Amanat Nasional (PAN) itu, jika penolakan para guru SMA/SMK dialihkan kembali ke kabupaten/kota itu, juga berdasarkan hasil survey yang mereka lakukan, berdasarkan pengalaman para guru saat berada di kabupaten dibandingkan dengan saat dialihkan ke provinsi.
“Karena yang merasakan masalah itu para guru. Mereka tidak mau lagi yang seperti dulu. Mereka tidak mau terulang lagi, misalnya mau jadi kepala sekolah saja, lebih banyak muatan politik, belum lagi mereka merasa lebih sejahtera berada di bawah Provinsi Papua,” tandas Timiles sapaan akrabnya.
Untuk itu, legislator Papua ini mengaku setuju dengan aspirasi para guru SMA/SMK itu, dalam rangka meningkatkan mutu pendidikan di Papua sejak kewenangan SMA/SMK itu dialihkan ke provinsi. Apalagi, tingkat kesejahteraan guru SMA/SMK itu, jauh lebih baik dibandingkan saat mereka masih ada di kabupaten/kota.
“Jadi, para guru atau tenaga pendidik ini merasa lebih puas karena kesejahteraannya terjamin. Bahkan, ketika mereka dialihkan ke provinsi dan sampai sekarang ini dengan UU Nomor 2 Tahun 2021 itu, mereka tidak mau dialihkan lagi ke kabupaten/kota,” pungkasnya. (Tiara).