Jayapura,- Catatan pribadi seorang legislator Papua, Laurenzus Kadepa selama satu tahun menjabat sebagai Anggota DPR Papua mewakili suara rakyat. Dimana hari ini 31 Oktober 2020, tepat setahun, Laurenzus Kadepa menjalankan tugasnya sebagai anggota DPR Papua, periode 2019 – 2024.
Bahkan, meskipun sudah dua periode ia duduk di Komisi I DPR Papua bidang Pemerintahan, Politik, Hukum dan HAM, namun sebagai wakil rakyat, Laurenzus Kadepa mengaku, selama dua periode ini masih banyak PR yang belum diselesaikan, terutama aspirasi rakyat yang belum diselesaikan secara tuntas.
Menurut Kadepa apirasi-aspirasi tersebut diantaranya, Pertama masalah Mogok Kerja (Moker) karyawan PT. Freeport. Dimana sejak tahun 2017 management Freeport, kontraktor dan sub kontraktor secara sepihak memberhentikan 8.300 karyawan dan hingga saat ini mereka korban masih menuntut keadilan dimana- mana. Baik di Jakarta ke Pemerintah pusat, ke Pemerintah Provinsi Papua di Jayapura, dan kabupaten Mimika di Timika.
“Rupanya pemerintah pusat dan pemerintah daerah sudah tutup mata dengan masalah ini. Padahal dampak dari pada pemutusan kerja sepihak ini besar. Saat ini sudah puluhan karyawan meninggal dunia akibat BPJS diblokir, putus sekolah/ pendidikan bagi anak-anak karyawan, Kemudian kekerasan dalam rumah tangga juga meningkat, dan anggka pengangguran makin tinggi di Papua serta masih banyak lagi,” kata Laurenzus Kadepa kepada Pasific Pos, Sabtu (31/10).
Untuk itu, Politisi Partai NasDem itu berharap, kedepan pihak Pemerintah Pusat, Provinsi, dan Pemkab Mimika bersama pihak manajemen freeport Indonesia dapat mencarikan solusi terbaik sesuai tuntutan para karyawan ini.
Kedua lanjutnya, masalah-masalah rakyat sipil di Nduga, Tembagapura, Intan Jaya, Pegunungan Bintang dan seluruh Papua menjadi masalah sangat serius yang belum selesai hingga hari ini.
Menurutnya, pengiriman militer banyak ke Papua terutama pasukan non organik, yang tujuannya mengejar kelompok TPNPB. Tetapi kenyataan dilapangan rakyat sipil yang menjadi korban. Selain itu hamba Tuhan dan petugas medis juga jadi korban.
” Akibat dari itu, sekolah-sekolah tidak jalan, pelayanan kesehatan tutup, ekonomi lumpuh, ketakutan dan trauma meningkat. Sehimgga terpaksa masyarakat memilih tinggalkan kampung halaman demi menyelamatkan nyawanya. Kedepan Negara segera mencabut status militer dan mencarikan solusi pendekatan yang tepat untuk Papua,”kata Laurezus Kadepa kepada Pasific Pos lewat via telepon, Sabtu (31/10).
Ketiga, penuntasan pelanggaran HAM berat di masa lalu dan sekarang akan terus diperjuangkan. Keempat, ruang demokrasi bagi mahasiswa dan masyarakat belum ada. Kebebasan Jurnalis lokal, nasional dan internasional tidak menjamin. NGO lokal nasional, dan internasional yang independen sangat dibutuhkan di Papua.
“Sebab selalu ada laporan Intimidasi terhadap pekerja HAM, Advokad juga hamba TUHAN. Kelima, dilingkungan pemerintahan daerah Provinsi dan Kabupaten/Kota di Papua, praktek Korupsi Kolusi dan Nepotisme masih subur,”ungkapnya.
Keenam, penegakan hukum penuh diskrimatif. Contoh kasus rasisme tahun 2019 di Surabaya, hingga korban rasis disalahkan dan proses hukum.
“Point ke tuju, penegakkan hukum terhadap pertambangan ilegal / ilegal mining, loging, masih lemah,”pungkasnya.
Sementata point kedelapan tambahnya, isu lingkungan hidup dan adat kurang diperhatikan pemerintah.
“Ancaman sawit sangat nyata dan masyarakat sebagai pemilik tanah di korbankan dan terus protes hingga saat ini,” tutup Kadepa.