Loan Deposito Ratio (LDR) di Papua tercatat sebesar 70,68 persen, masih dibawah LDR nasional sebesar 94,75 persen. “Artinya banyak sekali peluang yang belum dimasuki oleh sektor perbankan disini, oleh sebab itu dari sinergi ini perlu diciptakan sumber – sumber pertumbuhan ekonomi baru, bukan hanya bergantung pada sektor konsumtif, namun juga ada investasi dan modal kerja,” ucapnya. Naek menyebutkan, untuk modal kerja, pertumbuhan usaha mikro kecil dan menengah (UMKM) menjadi salah satu faktor kunci sehingga perbankan bisa menyalurkan kreditnya atau juga untuk kredit produktif dan investasi.
“Kredit investasi Penanaman Modal Asing (PMA) luar biasa hampir 30 kali lipat dari investasi Penanaman Modal Dalam Negeri (PMDN), ini menjadi peluang dan tantangan bagi perbankan kedepannya,” kata Naek. Sementara, pada tahun 2019, total ekspor Papua mengalami penurunan -67,5 persen menjadi 1,28 miliar dolar Amerika dibandingkan tahun 2018 yang sebesar 3,94 miliar dolar Amerika.
Proporsi ekspor ke China selama tahun 2017 hingga 2019 mengalami tren peningkatan sebesar 18,4 persen menjadi 43,2 persen. Tahun 2019, nilai ekspor Papua sebesar 552,7 juta dolar Amerika. “Memang 94,64 persen total ekspor ke China adalah biji tembaga, jadi negara ini salah satu penyumbang devisa bagi Papua dan Indonesia pada umumnya,” ujarnya.
Naek menyebutkan, apabila diberlakukan pemberhentian ekspor ke China, maka akan memberikan dampak yang cukup signifikan terhadap perekonomian di Papua. Dari sisi impor, komoditas yang terindikasi merupakan barang impor dari China adalah bawang putih.
Ia mengatakan, harga bawang putih yang semula pada Desember 2019 pada kisaran Rp35-52 ribu per kilogram, kini berada pada kisaran Rp45-60 ribu per kilogram. “Apabila diberlakukan pemberhentian impor bawang putih, akan mempengaruhi harga bawang putih di Jayapura, karena bawang putih yang diperoleh dari Surabaya, Jawa Timur berasal dari China,” kata Naek. (Zulkifli)