Jayapura – Ketua Komisi IV DPR Papua, Herlin Beatrix Monim, SE didampingi beberapa Anggota Komisi IV DPR Papua diantaranya, Apeniel Sani, Timotius Wakur dan Mathea Mamoyao juga staf ahli Komisi IV DPR Papua menghadiri kegiatan Focus Discussion Group (FGD) tentang Pemanfaatan Sisa Hasil Pengolahan SHP Tailing untuk Peningkatan Nilai Tambah Pendapatan Asli Daerah yang digelar Dinas Energi dan Sumber Daya Mineral (ESDM) Provinsi Papua di Hotel Horison Abepura, Padangbulan, Kota Jayapura, Kamis, 25 Nopember 2021.
Kepada wartawan, Akademisi Unhas Makassar, Prof Abrar Saleng mengatakan, pemanfaatan Sisa Hasil Pengolahan (SHP) Tailing itu kuncinya ada di PT Freeport Indonesia.
Sebab lanjut Prof. Abrar Saleng, di dalam perpanjangan IUP operasi itu, PT Freeport Indonesia berkewajiban membuat road map tentang pemanfaatan tailing. Yang tentunya endingnya itu adalah kerjasama dengan pemerintah daerah, Kabupaten Mimika dan Pemprov Papua.
“Jadi, FGD hari ini, seandainya Freeport hadir, bisa menjelaskan kandungan mineral dari tailing itu. Sebab, nanti ada Perpres pendelegasian kewenangan kepada Pemprov Papua untuk perijinan yakni batuan dan tambang rakyat,” kata Prof Abrar disela-sela kegiatan FGD.
Hanya saja tandas Prof. Abrar Saleng, yang jadi pertanyaan selanjutnya, apakah tailing itu disebut mineral logam atau batuan.
“Karena kalau batuan, itu berarti kewenangan ada di provinsi, tapi jika ada unsur mineral maka itu kewenangan pusat. Jadi jika pusat, ya tentu panjang lagi. Tapi jika di sini, berarti nanti DPR Papua dan Gubernur bisa membuat perda, agar ada kewenangan gubernur untuk mengeluarkan ijin pertambangan batuan,” jelasnya.
Pada kesempatan itu Prof Abrar juga mengungkapkan jika potensi tailing itu sangat tinggi. Sebab, sejak tahun 1969 – 1991 tercatat sudah capai 3 miliar meter kubik dan diperkirakan kini mencapai 5 – 6 miliar meter kubik. Dan, itu akan terus bertambah sepanjang ada produksi di Freeport yang akan berakhir tahun 2041. Maka peluang cukup besar.
Namun ungkap Prof Abrar, ini kendalanya di teknologi yang belum ada dan penggunaannya hanya untuk konstruksi jalan. Padahal, bisa digunakan untuk keramik, semen dan lainnya. Jika itu pasti, maka akan jadi potensi sumber PAD yang sangat besar.
“Tapi, Alhamdulillah tadi Komisi IV DPR Papua akan memperjuangkan untuk Dinas ESDM agar dapat mengerjakan itu. Jadi, ada dukungan supaya kontribusi sektor pertambangan 37 persen sekarang jangan turun lagi, kasih kembali ke 56 persen,” ungkapnya.
Hanya saja kata Prof Abrar, untuk mewujudkan hal itu, maka tentu harus mendudukan empat unsur yakni pemerintah daerah Provinsi Papua dan Pemkab Mimika, investasi yang mengelola, PT Freeport selaku pemilik tailing dan masyarakat hukum adat yang kena dampaknya.
Sementara itu, Kepala Dinas ESDM Papua, Frits J Boray berharap dengan adanya FGD ini, bisa melahirkan beberapa kebijakan daerah. Pertama, meletakkan industry apa yang dikembangkan di wilayah itu.
“Kita sudah punya data tentang bagaimana untuk dikembangkan yakni keramik. Kami sudah punya keramik dan yang punya laison untuk keramik itu Pemprov Papua terhadap penggunaan tailing,” terangnya.
Kedua lanjut Kadis ESDM Frits Boray, menyangkut pembangunan pabrik semen. Itu juga tengah digeluti. Namun, fokus pada keramik dulu.
Untuk itu, Dinas ESDM menghadirkan semua pihak termasuk Pemkab Mimika dan pakar atau ahli agar duduk bersama dengan masyarakat adat, mereka harus tahu bahwa ada peluang yang harus dibangun.
“Ya, memang tidak mudah untuk membangun itu, tapi kita harus mulai dan berusaha supaya ke depan kita punya harapan agar kita juga menjadi penghasil atau produsen, jangan kita cuma konsumtif saja,” ujar Frits Boray.
Menanggapi hal itu, Ketua Komisi IV DPR Papua, Herlin Beatrix Monim, SE menegaskan jika potensi dari SHP Tailing ini sangat besar hingga mencapai 5 miliar meter kubik.
“Tadinya ini kita anggap sebagai limbah, namun menjadi potensi baru yang harus diolah dan dikelola bisa menjadi keramik dan semen serta lainnya, sehingga bisa menjadi satu sumber PAD yang baru,” ungkap Beatrix Monim.
Menurut Politisi Partai NasDem itu, hal ini perlu didiskusikan secara bersama, dimana Dinas ESDM juga mengundang Komisi IV DPR Papua dalam kegiatan FGD itu.
Dijelaskannya. sebenarnya ini merupakan tindaklanjut dari rapat kita kemarin dimana DPR Papua mendukung Dinas ESDM.
Untuk itu, tegas Beatrix Monim, Komisi IV DPR Papua mendorong agar Dinas ESDM berpikir ekstra untuk menggali potensi PAD terkait dengan sumber daya alam yang dimilik Pemprov Papua.
“Namun diharapkan, lewat FGD ini dapat menghasilkan satu pikiran bersama dalam berbicara masalah pemanfaatan SHP Tailing ini dengan Pemprov Papua, Pemkab Mimika dan Pemkab sekitarnya, PT Freeport, juga masyarakat adat, agar kita mendapatkan satu kesepakatan untuk didorong dalam hal pengolahan SHP Tailing,” paparnya.
Oleh karena itu kata Beatrix Monim, pihaknya berharap untuk ijin dan kewenangan itu, bisa diberikan oleh pemerintah pusat kepada Pemprov Papua. Sebab, dengan adanya PP 106 tahun 2021 ini, maka kewenangan untuk mengelola sumber daya alam ini menjadi terbatas.
“Ini hanya berupa ijin pertambangan rakyat dan batuan. Namun, terkendala ijin wilayah pertambangan itu belum dikeluarkan oleh Kementerian ESDM,” imbuhnya.
Apalagi tandasnya, seluruh kebijakan apapun yang dilakukan oleh pemerintah baik pusat, pemprov dan pemerintah daerah, semata mata hanya untuk mensejahterakan rakyat. Tapi, jika tidak didukung dengan anggaran yang memadahi, tentunya tidak akan berhasil.
“Oleh karena itu, ini menjadi perhatian kita bahwa DPR Papua mendorong jika itu memberikan potensi PAD yang besar, maka Pemprov Papua juga harus bisa melihat sumber potensi PAD yang besar ini,”tekannya.
“Apalagi, potensi PAD nya ini cukup besar. Dengan adanya tailing yang mencapai 5 miliar meter kubik,” sambungnya.
Kendati demikian, Komisi IV DPR Papua tetap mendukung FGD ini supaya menjadi lebih besar dan menghadirkan semua pihak, agar bisa melakukan tindaklanjut memperjuangkan untuk bisa membuat SHP Tailing ini bisa dilaksanakan, sehingga tidak sekedar diskusi saja.
“Ini menjadi kewenangan kita ketika PP 106, kita bisa mendorong dalam regulasi daerah dalam 1 tahun. Untuk itu, Komisi IV DPR Papua akan mendorong sebagai hak inisiatif komisi menjadi peraturan daerah tentang pengelolaan sumber daya alam berkaitan dengan implementasi PP 106,” ujar Beatrix Monim.
Pasalnya, kata Beatrix Monim, ini semua diatur dalam regulasi daerah yang memberi kewenangan mengatur kewenangan pemerintah dan hak – hak masyarakat adat di dalamnya.
Menurut Beatrix Monim, sebuah kegiatan di dalam suatu daerah, tentu harus didukung masyarakat adat dan masyarakat setempat, namun semua kebijakan pemerintah yang dilakukan itu jangan sampai timbul konflik.
“Diharapkan FGD ini mengerucut dan pasti mendapatkan kesimpulan, kemudian bisa didorong sampai di Kementerian ESDM agar kita mendapatkan kewenangan untuk mengelola SHP Tailing. Oleh karena itu, kita akan berjuang agar itu menjadi kewenangan provinsi dalam memberikan ijin pengelolaan SHP Tailing ini. Apalagi, potensinya sangat besar dan luar biasa bagi penerimaan PAD,” tandasnya.
Oleh sebab itu, sebagai Ketua Komisi IV DPR Papua, Beatrix Monim berharap dengan potensi yang mendatangkan PAD besar ini, agar didukung dan bisa diwujudkan. Apalagi, penurunan fiscal daerah, mau tidak mau harus mendorong setiap dinas memaksimalkan potensi – potensi PAD yang bisa dikelola secara maksimal.
“Di tahun 2022 mendatang, kami berharap menjadi tahun strategis untuk pengembangan potensi PAD. Ini tidak hanya dirumuskan di atas kertas, tapi harus didukung dengan anggaran yang memadahi, sehingga ini menjadi tahun strategis peningkatan PAD untuk berikutnya,” tegas Beatrix Monim. (Tiara).