Jayapura – Pemerintah Daerah dan Kepolisian Republik Indonesia di Kabupaten Nduga diminta mengambil tindakan tegas dan terukur terhadap pelaku pemicu perang keluarga yang terjadi di Kabupaten Nduga, Provinsi Pegunungan Papua.
Hal tersebut diitegaskan oleh salah satu Tokoh Intelektual asal Kabupaten Nduga, Otomi Gwijangge, S. Hut dalam pesan singkatnya kepada Pasific Pos, Sabtu 13 April 2024.
Dikatakan, pihaknya sangat prihatin melihat kondisi dan situasi di daerah serta masyakat Kabupaten Nduga menjelang hingga akhir dari pada pesta demokrasi Pilres dan Pileg yang dinilai sangat tidak ramah dan demokrastis.
“Akibat dari pada itu semua, hingga mengakibatkan sengketa dalam keluarga antara om dan anak. Sebenarnya demokrasi itu suatu seni untuk menjual visi dan misi serta kemampuan seseorang untuk menjadi pemimpin berkualitas,” ujarnya.
Diakui, masyarakat Kabupaten Nduga memang sangat kaget, sebab sudah lama mereka tidak menyentuh pembangunan. Apalagi mereka ini baru mengenal apa itu Partai Politik, apa itu DPRD/DPR, DPD dan DPR RI. Bahkan apa itu Bupati.
Menurut Otomi Gwijangge, sebenarnya lembaga lembaga yang di perjuangkan itu merupakan wadah tempat belajar, tempat menulis dan membaca untuk menjadi dewasa dalam dunia pekerjaan.
“Bukan tempat untuk saling bunuh, membunuh, saling serang menyerang dan juga bukan saling dendam mendedam. Jabatan politik itu hanya sekejap mata saja. Seperti banjir di musim hujan hilang jejang di musim Kering. Tetapi keluarga, akan bersama-sama mengalami susa dan sedih, bahkan masuk keliang lahar.
Perlu kita ketahui bersama, bahwa masyarakat Kabupaten Nduga awalnya hidup didalam suatu zona kegelapan meliputi suku Nduga dan tidak mengenal satu daerah ke daerah yang lain. Kehidupannya tergantung pada alam sekitarnya. Tetapi Tuhan mengutus Misi-misi penyebaran injil kekuatan Allah itu ke Daerah Nduga, melalui Tuan Vader Bijdjil atau Ndugamende,” ungkapnya.
Kata Otomi Gwijangge, suku Nduga boleh melihat terang itu.ternyata terang Firman Allah itu menyelamatkan dan memperbaiki kualitas kehidupan orang Nduga. setelah menerimah Tuhan Yesus Kristus sebagai Juru selamat-Nya, maka segala kehidupan berhallah, keyakinan adat dan Budaya, peperangan dan tebusan kepala, atau nyawa dan lain-lain didalam nama Yesus kristus sudah kubur di lubang batu Daerah Mapenduma.
“Jadi setelah kita mengikuti cerita singkat ini, masyakat Nduga dan juga pemimpin Politik Nduga itu harusnya menyadari bahwa peristiwa tersebut menjerat bagi garasi saat ini dan berhati-hati. Perlu juga kita ketahui bahwa situasi dan keadaan masyarakat Kabupaten Nduga bukan baik-baik saja, melainkan Degradasi dan Pengungsian besar-besaran terjadi dalam kehidupan suku Nduga, nyawa masyarakat Nduga seperti nyawa binatang di buruh oleh masyarakatnya sendiri maupun di buruh oleh kepentingan politik semata. Nyawa orang Nduga Banyak melayang sia-sia di hutan belantara, di kali, di gunung, di goa, bahkan dikota-kota,” tekannya.
Untuk itu, kata Otomi Gwijangge, marilah kita mendewasahkan diri kita masing-masing, menyesal kembali apa yang kami lakukan, agar kutukan Tuhan tidak menimpa kepada kita sendiri maupun Tujuh keturunan nantinya.
“Kami menilai penanganan kasus sengketa politik, praktis yang di gagas oleh anak dan Om ini, sepertinya di biarkan dan di pelihara oleh pihak Pemerintah Daerah maupun Pihak keamanan. Mengapa kami sampaikan demikian, karena terbukti hampir hari-hari terjadi perang keluarga dan itu terus berlangsung hingga merengang nyawa. Kalau begitu intruksi Pemerintah Daerah sebagai kepala wilayah dan tindakan kepolisian harus jelas. Bukan megusir dengan nembak nembakan saja. Tetapi tangkap pelaku dan aktor –aktornya lalu proses hukum, biar orang Nduga entah pejabat maupun masyakat itu tahu hukum,” tandas Otomi Gwijangge.
“Tunggu nyawa siapa lagi pak Bupati, dan Pak Kapolres Nduga?. Sekalipun bayar tebusan lakukan perdamaian tetapi tidak mempan. Maka langka-langka selanjutnya, dorong melalui proses hukum positif untuk selesaikan lalu apa yang sulit,” sambungnya.
Dikatakan, jangan orang Nduga menuai ketukan dari Tuhan karena saudara- saudara selalu mencabut salif perang keluarga keliling gereja dan salib , karena ada latar belakang kehidupan orang duka itu, dan juga jangan orang nduga menuai kutukan tujuh turunan.
“Kami ini masih mau hidup. Masyarakat Nduga jangan kehilangan akal, dan hikmat. Banyak lahan pekerjaan, yang Tuhan berikan kepada kita. Hidup lebih penting dari pada kekayaan. Karena Tuhan mengajarkan kita bahwa “ Sebab Semua yang hidup adalah seperti rumput,dan segalah kemuliaanya seperti bungah rumput, rumput menjadi kering, dan bunga gugur, tetapi Firman Tuhan Untuk selama-lamanya, I. Petrus 1: 24-25.
Artinya bahwa hidup manusia ini sebentar saja, kalau manusia itu meninggal seggala kekayaan dunia ini tidak berarti.karena itu hiduplah dalam kasih dan dalam damai,” tuturnya.
Ditegaskannya, dari catatan ini, Pemerintah Daerah dan Kapolres Kabupaten Nduga harus bertindak tegas dan arahkan proses hukum karena pesta perang Om dan anak itu membuat nyawa manusia juga melayang dan ratusan orang kena panah, sehingga layak di proses hukum positif. Hukum Tuhan Jelas “ JANGAN MEMBUNUH.” (Kel.20:13).
Menurut Gwijangge, firman Tuhan tentang peraturan jaminan Nyawa sesama Manusia”siapa yang memukul seseorang sehingga mati. Pastilah ia dihukum mati) bukan berarti di Bunuh, di proses hukum jelas, kenapa kepolisian tidak ambil langka-langka seperti itu.
“Terakhir saya pesan kepada masyakat Nduga, 32 Distrik dan 248 Kampung agar tidak saling bantu membatu perang keluarga itu, Nyawa saudara-saudara lebih berharga di banding politik, pikir keluarga dan pikir anak untuk maju dalam pendidikan. Orang lain sudah melangkah 100 meter dua berapa? Tidak tahu. Bagi pemimpin perang suadara-saudara menyesal kembali apa yang saudara- saudara lakukan, biar Tuhan mengampuni. Cukup di pertontonkan perang keluarga om dan anak ini, masih banyak masalah sedang menunggu kami.
Semongga kritik dan masukan ini bermanfaat bagi kita sekalian,” tutup Otomi Gwijangge. (Tiara).