Jakarta – Proses penerjemahan Al-Qur’an dalam Bahasa Betawi Juz 16-30 telah memasuki tahap finalisasi. Proses penerjemahan ini sudah berlangsung selama 8 bulan. Hasil terjemahan itu dibahas bersama dalam Focus Group Discussion (FGD) untuk mendapatkan hasil final.
FGD ini digelar Puslitbang Lektur, Khazanah, Keagamaan, dan Manajemen Organisasi (LKKMO). Kepala Balitbang Diklat Kemenag Suyitno, saat membuka acara, menyinggung sejumlah tantangan yang dihadapi selama proses penerjemahan Al-Qur’an Bahasa Betawi.
Salah satunya adalah pengaruh bahasa gaul. Bahkan, istilah-istilah seperti gemoy, bestie, ghosting lebih akrab di kalangan generasi muda daripada bahasa daerah mereka sendiri.
“Bahasa-bahasa gaul ini kini mendominasi, baik dalam komunikasi sehari-hari maupun di media sosial,” ucap Suyitno pada Jum’at (22/11/2024).
Suyitno berpendapat mungkin suatu saat kita akan menghadapi tantangan untuk menterjemahkan Al-Qur’an ke dalam bahasa gaul. Tetapi, ini menggambarkan pentingnya pesan Al-Qur’an tetap dapat diterima dengan baik oleh semua kalangan dan juga tetap memastikan bahwa pesan Al-Qur’an sampai secara substansial.
Suyitno juga menegaskan bahwa penerjemahan Al-Qur’an memang sifatnya tidak final seperti Al-Qur’an itu sendiri. Tafsir dan terjemahan akan terus mengalami revisi untuk menyempurnakan tata bahasa, kosakata, maupun diksi yang digunakan. “Proses ini wajar dan penting dilakukan untuk menjaga kualitas dan akurasi terjemahan,” tegas Suyitno.
Suyitno juga mengemukakan tantangan lain dalam penerjemahan Al-Qur’an bahasa daerah. Yaitu, generasi muda yang semakin gengsi menggunakan bahasa daerah. “Anak-anak zaman sekarang cenderung tidak mengenal bahasa kromo atau bahasa halus. Padahal, kearifan lokal seperti ini menggambarkan nilai-nilai penghormatan dan tata krama yang luhur,” ungkap Suyitno.
Kapuslitbang LKKMO Moh.Isom menambahkan bahwa setelah Al-Qur’an terjemahan bahasa Betawi ini selesai dapat dijadikan muatan lokal (mulok) di SD, madrasah, dan lembaga pendidikan lainnya di DKI Jakarta agar manfaat dari terjemahan ini semakin besar. “Diharapkan Al-Qur’an terjemah bahasa Betawi ini dapat digunakan dalam tilawah pada setiat event PHBI dan majelis taklim, agar Al-Qur’an bisa benar-benar membumi, dan bahasa Betawi pun lestari,” tutur Isom.
Terakhir, Isom menggarisbawahi terkait tantangan dalam proses penerjemahan bahwa penerjemahan tetap harus mengacu pada rukun iman Islam dan menggunakan istilah yang tidak menyimpang dari ajaran Islam.
Isom berharap hasil penerjemahan ini dapat diuji publik dengan baik, sehingga tidak menimbulkan khilafiyah di masyarakat. Perbedaan pendapat yang mungkin muncul kiranya dapat diselesaikan melalui diskusi, agar produk akhirnya menjadi referensi yang sahih dan bermanfaat.