Jakarta – Wakil Ketua Dewan Kehormatan (DK) Persatuan Wartawan Indonesia (PWI) Pusat, Mahmud Matangara, mengimbau Ketua DK Non-aktif, Sasongko Tedjo, untuk segera bertobat dan kembali ke jalan yang benar. Pernyataan ini disampaikan Mahmud menanggapi klaim Sasongko yang menyatakan bahwa Hendry Ch Bangun telah diberhentikan dari keanggotaan PWI.
Mahmud menjelaskan bahwa keputusan Dewan Kehormatan PWI nomor 50 yang dikeluarkan pada 16 Juli 2024 dan ditandatangani oleh Sasongko Tedjo sebagai Ketua dan Nurcholis sebagai Sekretaris, dianggap tidak sah. “Dalam rapat pleno Pengurus Pusat PWI pada 5 Agustus 2024, diputuskan bahwa keputusan tersebut tidak sah dan tidak diakui oleh PWI Pusat,” ungkap Mahmud pada Selasa, 13 Agustus 2024.
Alasan utama ketidakabsahan keputusan tersebut, menurut Mahmud, adalah bahwa Nurcholis telah digantikan oleh Tatang Suherman sejak 27 Juni 2024 melalui rapat pleno diperluas Pengurus Pusat PWI. Pergantian ini telah disahkan dengan SK PWI Pusat nomor 218 dan diaktakan pada 8 Juli 2024, serta mendapat pengesahan dari Kemenkumham pada 12 Juli 2024.
“Bagaimana mungkin anggota DK yang sudah diganti masih membuat SK pemberhentian? Jika ada keberatan atas keputusan ini, silakan gugat ke pengadilan,” tegas Mahmud, wartawan senior asal Sulawesi.
Dalam rapat pleno tersebut, Mahmud juga mengungkapkan bahwa H. Ilham Bintang dan Wina Armada telah diberhentikan dari Dewan Penasihat PWI dan digantikan oleh Anton Charliyan serta Zulkifli Gani Oto. “Dengan demikian, rencana KLB itu adalah tindakan yang sesat. H. Ilham Bintang dan Wina Armada sudah bukan lagi anggota Dewan Penasihat PWI,” ujar Mahmud.
Terkait rencana pelaksanaan Kongres Luar Biasa (KLB), Mahmud menjelaskan bahwa sesuai dengan Peraturan Rumah Tangga (PRT) PWI Pusat, khususnya Bab IV Pasal 10 ayat 7, Pelaksana Tugas (Plt) harus ditunjuk melalui rapat pleno pengurus jika Ketua Umum berhalangan tetap. Plt ini bertanggung jawab untuk menyiapkan KLB guna memilih Ketua Umum dan Ketua Dewan Kehormatan yang baru, dengan batas waktu maksimal enam bulan.
Mahmud juga menekankan bahwa pengertian “berhalangan tetap” dalam Pasal 10 ayat 7 hanya berlaku jika Ketua Umum meninggal dunia atau mengalami kondisi sakit yang membuatnya tidak mampu menjalankan tugas organisasi. “Rapat pleno untuk memilih Plt harus dihadiri oleh 2/3 dari jumlah pengurus pusat yang berjumlah 76 orang. Jadi, penetapan Plt bukan dari rapat yang dihadiri hanya oleh 9 orang, yang sebagian besar juga sudah diberhentikan,” jelas Mahmud.
Lebih lanjut, Mahmud menegaskan bahwa proses pemilihan Plt ini harus ditaati oleh semua anggota PWI yang sedang menjalankan tugas organisasi. “Jika Plt akan menggelar KLB, maka prosesnya harus diatur sesuai dengan Pasal 28 ayat 1 dari PRT,” tegasnya.
Pasal 28 ayat 1 PRT PWI Pusat menyebutkan bahwa KLB dapat diselenggarakan apabila diminta oleh 2/3 dari jumlah PWI provinsi dengan alasan Ketua Umum telah menjadi terdakwa dalam kasus pidana. “Jadi, syarat utama untuk digelarnya KLB adalah Ketua Umum sudah disidangkan dalam perkara pidana. Prosedur pengajuan KLB harus diajukan oleh 2/3 dari jumlah PWI provinsi,” pungkas Mahmud.