Kupang – Program pemberdayaan pemerintah membuka jalan bagi Pekerja Migran Indonesia (PMI) purna untuk lebih mandiri di negeri sendiri. Melalui program pemberdayaan, PMI purna bisa mengembangkan keterampilan dan sukses menciptakan usaha-usaha baru.
Setelah empat tahun bekerja di Hong Kong dari tahun 2004 hingga 2008, Damaris akhirnya kembali ke tanah air. Dari hasil kerjanya, Pekerja Migran Indonesia asal Kupang, Nusa Tenggara Timur ini, mampu membeli beberapa bidang tanah yang dijadikan sebagai ladang usaha pertanian. Hasilnya tak hanya menopang ekonomi keluarga, tapi juga mengantarkan putra-putrinya menjadi sarjana.
Damaris, satu diantara PMI purna di NTT yang merasakan manfaat program pemberdayaan pemerintah bagi PMI yang telah kembali ke tanah air setelah bekerja di luar negeri. Melalui program pemberdayaan berupa pelatihan dan Kredit Usaha Rakyat (KUR), Ia bisa menggarap lahan pertanian dan hasilnya memuaskan.
“Kalau bisa kedepan ada koperasi PMI purna, agar pekerja migran yang sudah kembali ke tanah air ini bisa saling mendukung sehingga lebih berkembang,” pinta Damaris, saat bertemu tim Kantor Staf Presiden pada kegiatan KSP Mendengar, di Kupang, NTT, Selasa (2/7).
Pemberdayaan PMI purna merupakan salah satu program pemerintah dalam memberikan pelindungan bagi PMI setelah bekerja. Program ini untuk menghapus kekhawatiran PMI yang tidak bisa mendapatkan pekerjaan setelah kembali ke tanah air. Bentuk program pemberdayaan PMI purna, diantaranya Desa Migran Produktif (Desmigratif), Reintegrasi PMI purna, fasilitasi pendirian usaha, dan bantuan permodalan usaha melalui KUR.
Marthen Malo, PMI purna lain menilai program pemberdayaan bagi PMI purna merupakan bukti dari kerja pemerintahan Presiden Joko Widodo dalam memperkuat tata kelola penempatan dan pelindungan PMI. Namun, menurutnya masih dibutuhkan penguatan terutama dalam menyiapkan keterampilan dasar bagi calon-calon PMI. Ia mengungapkan saat ini banyak anak muda di NTT ingin bekerja di luar negeri, tapi tidak memiliki keterampilan dasar dan informasi yang dibutuhkan. Kondisi ini membuat mereka muda tertipu dengan menjadi tawaran PMI non-prosedural. “akses informasi terhadap calon-calon PMI ini harus dibuka lebar-lebar dan pembekalan keteramplan dasar harus lebih diperkuat,” ujar Marthen yang kini aktif di Yayasan Alfa Omega.
Sementara itu, Tenaga Ahli Utama Kantor Staf Presiden, Fadjar Dwi Wisnuwardhani, menegaskan komitmen pemerintah dalam memberikan pelindungan terhadap PMI. Ia mengatakan PMI merupakan salah satu isu yang menjadi perhatian Kantor Staf Presiden. Terlebih, dari tahun ke tahun jumlah penempatan PMI terus meningkat.
Lebih lanjut, Fadjar memaparkan peningkatan jumlah penempatan PMI dari tahun ke tahun. Pada 2021, jumlah penempatan PMI sebesar 72.624. Angka tersebut meningkat di tahun 2022 menjadi 200.802, dan terus meningkat di tahun 2023 menjadi 274.965. “Pada Mei 2024 sebesar tiga puluh ribu lebih atau meningkat hampir enam belas persen dibandingkan bulan Mei tahun sebelumnya,” tuturnya.
Dari peningkatan jumlah penempatan PMI tersebut, sambung Fadjar, provinsi NTT juga menunjukkan peningkatan signifikan dengan total 2.654 penempatan dalam kurun waktu 2021 hingga 2023. “NTT termasuk salah satu provinsi dengan penempatan PMI terbesar, tapi juga memiliki pengaduan tertinggi,” terangnya.
Fadjar memastikan saat ini pemerintah terus bekerja memperkuat tata kelola penempatan dan pelindungan PMI. Di mana, Kantor Staf Presiden juga ikut terlibat di dalamnya. Diantaranya, mendorong penyusunan protokol pemulangan PMI bermasalah dengan skema Government to Govermnet (G-to-G), dan terlibat aktif dalam penyusunan Rancangan Perpres Penguatan Tata Kelola Penempatan dan Pelindungan PMI.
“Kami (KSP) juga mendorong integrasi pelaksanaan sosialisasi pra pendaftaran antar stakeholder. Ini dibutuhkan agar para calon PMI tidak tertipu dan menjadi PMI non prosedural,” tegasnya.