Sentani – LSM Papua Bangkit menginisiasi kegiatan upaya Penyelesaian Non-Yudisial Pelanggaran Hak Asasi Manusia (PPHAM) berat di masa lalu.
Kegiatan yang diselenggarakan pada Rabu (21/6/2023), dilakukan dalam bentuk testimony terhadap keluarga korban Pelanggaran HAM Berat oleh Negara di masa lalu dari tiga (3) orang warga Kampung Ifar Besar yang berlangsung di kediamannya di Kota Sentani, Kabupaten Jayapura, Provinsi Papua.
Ketua LSM Papua Bangkit, Ir. Hengky Hiskia Jokhu mengatakan, kegiatan itu diinisiasi pihaknya bertolak dari Keputusan Presiden (Kepres) Nomor 17 Tahun 2022 tentang pembentukan tim Penyelesaian Non-Yudisial Pelanggaran HAM Berat Masa Lalu dan juga Instruksi Presiden (Inpres) Nomor 2 Tahun 2023 tentang pelaksanaan rekomendasi Penyelesaian Non-Yudisial Pelanggaran HAM Berat Masa Lalu.
“Kami inisiasi kegiatan itu bertolak dari dua peraturan tersebut. Di mana, pemerintah Indonesia atau Presiden Jokowi memiliki itikad baik untuk menyelesaikan pelanggaran HAM berat di masa lalu melalui pola Non-Yudisial dan tidak melalui peradilan,” kata Hengky ketika ditemui di Kota Sentani, Rabu (21/6/2023).
Di Kabupaten Jayapura khususnya Sentani, ada beberapa peristiwa pelanggaran HAM berat di masa lalu. “Itu mulai dari tahun 1963 sampai dengan tahun 2000-an. Misalnya di Kampung Ayapo, ada delapan (8) orang sampai hari ini hilang yang dijemput itu tidak pernah kembali ke kampungnya. Sedangkan, kami di Kampung Ifar Besar itu ada tiga (3) orang,” sebutnya.
Hengky menceritakan dari tiga orang tersebut, pertama atas nama (Alm) Permenas Yoku. Almarhum merupakan seorang tokoh yang diundang ke Jakarta untuk bicara tentang Irian Barat bergabung dengan Indonesia, tetapi beliau tetap menolak.
“Jadi rentetan peristiwanya untuk korban Permenas Yoku itu terjadi di bulan Juli tahun 1963 silam. Sekembalinya dari Jakarta pada 18 Desember, beliau diundang dalam acara ramah tamah serah terima pasukan di Kota Sentani dan setelah itu, beliau pulang sudah menjadi mayat. Dia di eksekusi, cara kematiannya pun sama dengan (Alm) Theys Eluay yaitu, ditangkap dan dieksekusi dengan cara dicekik lehernya lalu dibuang di kali,” ungkapnya.
Kemudian, korban kedua itu atas nama (Am) Yulianus Yoku itu merupakan anak muda yang ikut semacam pergerakan (Papua Merdeka). Kebetulan keluarga almarhum ada disini dan hanya satu orang yang tersisa dari keluarganya, serta almarhum ini belum berkeluarga saat dieksekusi.
Dimana saat itu, Almarhum ini dikejar dari Kampung Ifar Besar oleh tentara dan menyebrang ke Kampung Yobeh, lalu disana dia ditembak dibawah kolong rumah.
“Peristiwanya itu terjadi pada pagi hari di bulan Juli 1969 lalu dan kejadian itu setelah Pepera. Penembak almarhum itu Kopral Dua (Kopda) Wempi Malonda dari Kodam XV Merdeka/Menado atau sekarang biasa disebut itu anggota Pamtas,” terang Hengky.
Kemudian, korban ketiga itu terjadi di medio 1972 atas nama Yonatan Yoku. Yang mana, almarhum ini adalah pegawai tower di bandara dan dicurigai segala macam, serta dikenakan wajib lapor.
“Awalnya setiap kali datang melapor ke Kantor Koramil itu biasanya ditemani oleh keluarganya. Peristiwanya pada November 1972 ketika saat itu Yonatan Yoku datang melakukan wajib lapor yang ketiga tanpa ditemani keluarganya di kantor Koramil, namun almarhum tidak pernah keluar dari Koramil hingga hari ini,” katanya.
“Jadi, wajib lapor pertama dan kedua yang dilakukan oleh almarhum bersama keluarga itu aman-aman saja. Tetapi saat wajib lapor yang ketiga, almarhum yang datang melapor sendiri itu tidak pernah kembali sampai detik ini. Bahkan keluarga tanya kemana-mana tidak tahu atau hilang jejak. Kebetulan putranya masih hidup dan ada disini, terus saudara perempuannya juga hadir,” tambahnya.
Maka itu pihaknya bersama keluarga, mengambil inisiatif untuk melupakan masa lalu, karena (percuma) juga proses peradilan berjalan untuk pelanggaran HAM ini, yang dipastikan para pelakunya ini sudah tidak ada.
“Karena peristiwanya sudah cukup lama, ya kan. Siapa yang mau diminta pertanggung jawaban, pastinya negara tidak mungkin mau. Peristiwa pelanggaran HAM berat ini terjadi di orde lama dan orde baru,” ujar mantan Aktivis 98 ini.
“Sehingga sekarang ini kita melupakan masa lalu. Kami juga tahu tidak mungkin masa depan kita lebih baik, jika kita harus meratapi masa lalu itu terus-terusan. Oleh karena itu, kita harus membuka masa depan dengan pola pikir yang lebih baik dan maju dengan melupakan masa lalu. Karena kami keluarga besar dari tiga korban ini tidak ingin tersandera dengan peristiwa pelanggaran HAM berat masa lalu,” jelasnya.
Karena itu, ketika pemerintahan Presiden Jokowi berkeinginan lewat Keppres dan Inpres yang sudah dikeluarkan, untuk menyelesaikan (pelanggaran HAM) dengan cara Non-Yudisial, pihaknya berinisiatif merangkum semua peristiwa dari tiga keluarga korban ini untuk melaporkan ke pemerintah.
“Kami tidak menuntut apa-apa ke pemerintah. Itu tergantung dari kebijakan pemerintah apabila memiliki niat baik untuk memperbaiki atau membantu. Namun intinya, kami sepenuhnya mendorong untuk bantuan bersifat perbaikan kualitas pendidikan, kualitas kesehatan dan juga peningkatan kualitas sumberdaya manusia di Kampung Ifar Besar,” katanya.
“Jadi, kami melupakan peristiwa masa lalu dengan merelakan keluarga kami menuju masa depan. Mengabaikan dan melupakan semua peristiwa- peristiwa pelanggaran HAM yang terjadi dalam keluarga ini. Namun dengan catatan, kami ingin agar pemerintah dapat memperhatikan dan memperbaiki kualitas masyarakat di kampung kami,” lanjutnya.
Pihaknya juga akan membuat resume dari testimoni ini. Dengan dokumen-dokumen seadanya, kemudian pihaknya akan melaporkan ke Menkopolhukam.
“Karena itu merupakan arahan dari Menkopolhukam sendiri untuk penyelesaian Non-Yudisial ini. Terus tembusannya tentu kepada pemerintah daerah, Komnas HAM, kemudian instansi-instansi terkait lainnya yang ada di Provinsi Papua ini dan itulah intisari dari pertemuan testimoni tersebut,” tutup Hengky.