Jakarta – Ketidakpastian global akan berdampak pada pertumbuhan neraca perdagangan Indonesia pada 2023. Peningkatan ekspor Indonesia diperkirakan sekitar 12,8 persen atau turun dibandingkan tahun lalu, yakni sebesar 29,4 persen. Hal ini disebabkan oleh meningkatnya potensi resesi global, peningkatan suku bunga The Fed, dan masih berlanjutnya perang Rusia-Ukraina yang mengganggu rantai pasok global. Meski demikian, pemerintah Indonesia optimistis bisa menjaga neraca perdagangan tetap tumbuh walaupun melambat.
Tenaga Ahli Utama Kantor Staf Presiden Agung Krisdiyanto mengatakan, di tengah ketidakpastian global, Indonesia masih memiliki modal besar dan peluang untuk menjaga perkembangan neraca perdagangan tetap tumbuh. Diantaranya, melalui peningkatan hilirisasi industri. Khususnya komoditas Nikel, Bauksit, dan Tembaga.
Kebijakan yang menjadi salah satu agenda prioritas Presiden Joko Widodo tersebut, menurut Agung, bisa meningkatkan ekosistem industri dalam negeri dan menjaga perkembangan neraca perdagangan Indonesia dalam jangka panjang.
“Hasilnya sudah ada. Selama 2022, hilirisasi komoditas nikel berhasil meningkatkan nilai ekspor nikel dan turunanannya sebesar 365 persen year on year (yoy), kata Agung, di gedung Bina Graha Jakarta, Rabu (18/1).
Agung juga melihat, bahwa Indonesia bisa melakukan diversifikasi ekspor ke negara-negara non tradisional, terutama yang telah memiliki perjanjian perdagangan dengan skema tarif rendah. Sejauh ini, Indonesia sudah memiliki perjanjian perdagangan baik regional dan bilateral dengan ASEAN, Jepang, Pakistan, Chile, UAE, Mozambique, Australia, dan Korea.
Selain itu, sambung dia, Indonesia saat ini juga sedang melakukan negosisasi perdanganan dengan Uni Eropa atau IEU-CPA (Indonesia – European Union – Comprehensive Economic Partnership Agreement) yang diharapkan dapat rampung pada akhir 2023.
“KSP akan mengawal dan melakukan langkah debottlenecking agar bisa segera mencapai kesepakatan,” ujarnya.
Di sisi impor, tutur Agung, pemerintah berupaya menekan impor melalui instrumen pengadaan barang/jasa pemerintah, yakni mengutamakan produk dalam negeri. Komitmen tersebut tertuang pada Inpres No 2/2022 tentang Percepatan Peningkatan Penggunaan Produk Dalam Negeri dan Produk Usaha Mikro, Usaha Kecil, dan Koperasi dalam rangka Menyukseskan Gerakan Nasional Bangga Buatan Indonesia.
Pada kesempatan itu, Agung menegaskan, bahwa kondisi Indonesia saat ini masih jauh lebih baik dibanding negara-negara lain. Terlebih, ekonomi Indonesia didominasi oleh market domestik ketimbang Internasional. Sehingga pengaruh global dapat disiasati dengan kebijakan Inward Looking atau strategi pendayagunaan pasar domestik untuk meningkatkan pertumbuhan ekonomi.
Ia pun memastikan, bahwa cadangan devisa Indonesia yang berkisar USD 137 miliar masih cukup aman untuk pembiayaan impor selama 6 bulan. Sehingga dinilai bisa memberikan bantalan cukup kuat untuk menjaga stabilitas nilai tukar rupiah yang diperkirakan akan mengalami gejolak akibat peningkatan suku bunga The Fed.
“Kalangan dunia usaha tetap harus waspada, tapi jangan panik dan khawatir. Kondisi ekonomi Indonesia masih jauh lebih baik,” pungkasnya.
Seperti diketahui, selama 2022, Neraca Perdagangan Indonesia mencatatkan surplus sebesar USD 54,46 miliar dengan persentase peningkatan 53,7 persen year on year (yoy). Jika merujuk pada data bulanan sejak Mei 2020, Indonesia mencatatkan surplus neraca perdagangan selama 32 bulan berturut-turut. Namun berbagai kalangan menilai, capaian tersebut tidak akan bisa diulang pada 2023 karena terjadi ketidakpastian global.