Jakarta – Kantor Staf Presiden menepis anggapan telah terjadi kemunduran industri atau deindustrialisasi pada industri pengolahan. Hal itu dipicu oleh terjadinya penurunan industri pengolahan dalam Produk Domestik Bruto (PDB) dari tahun ke tahun.
Tenaga Ahli Utama Kantor Staf Presiden Agung Krisdiyanto memandang sinyalemen tersebut layak diperdebatkan. Sebab, kata dia, dari sisi besaran PDB atas harga konstan, output industri pengolahan masih mengalami peningkatan dari Rp 587,49 triliun pada Triwulan II-2022, menjadi Rp 606,08 triliun pada Triwulan III-2022.
“Nilai ini bahkan lebih tinggi dibandingkan kondisi sebelum pandemi,” ujar Agung di gedung Bina Graha Jakarta, Senin (14/11).
Sebagai informasi, pada Triwulan III-2022, Produk Domestik Bruto (PDB) atas dasar harga berlaku mencapai Rp5.091,2 triliun, atau atas dasar harga konstan 2010 mencapai Rp2.976,8 triliun.
Agung mengatakan, secara sektoral industri pengolahan tumbuh 4,83 persen jika dibandingkan tahun sebelumnya. Meski angka tersebut lebih rendah dari angka pertumbuhan keseluruhan sektor industri, namun dengan porsi besar dalam PDB, industri pengolahan memberikan kontribusi besar terhadap pertumbuhan ekonomi.
Dari pertumbuhan secara nasional 5,72 persen, ungkap dia, sebesar 0,99 persen berasal dari industri pengolahan. Kontribusi tersebut merupakan yang terbesar, disusul sektor transportasi dan pergudangan sebesar 0,90 persen, perdagangan 0,71 persen, dan akomodasi makanan dan minuman 0,47 persen.
Adapun terkait dengan adanya potensi ancaman perlambatan pertumbuhan ekonomi negara-negara maju imbas dari resesi global, Agung menekankan pentingan pelaku industri terutama yang berorientasi ekspor untuk melakukan re-orientasi pasar, baik mencari pasar baru yakni non tradisional, atau ke mengalihkan ke pasar domestik.
Pemerintah sendiri, sambung dia, akan berusaha sekuat tenaga dengan menggunakan berbagai instrumen kebijakan, agar perlambatan pertumbuhan ekonomi negara-negara dunia tidak berdampak buruk sektor industri di Indonesia.
“Jika tidak diantisipasi dan ditangani dengan baik, dampaknya bisa buruk terhadap utilitas pabrik-pabrik dan risiko perumahan karyawan, bahkan mungkin PHK. Kerja keras semua pihak tetap diharapkan untuk menghadapi tantangan tersebut,” pungkas Agung.