Sentani – Desa Berbasis Wilayah Adat sebagai wujud dari penerapan kewenangan asal-usul desa menjadi topik Serasehan (Yo Riya) hari pertama di Kampung Yakonde, Selasa (25/10/2022).
Deskripsi singkat guna mendukung topik tersebut adalah, desa memiliki kewenangan berdasarkan hak asal-usul dan kewenangan lokal berskala desa dimana desa memiliki kewenangan penuh untuk mengatur dan mengurus desanya.
Serasehan ini akan mendiskusikan situasi pengakuan dan perlindungan masyarakat adat di tingkat desa. Bagaimana desa sebagai institusi negara sekaligus sebagai institusi sosial yang langsung berhadapan dengan masyarakat adat dapat berkontribusi terhadap pengakuan dan perlindungan masyarakat adat.
Serasehan ini juga akan memberikan rekomendasi terkait penguatan kewenangan asal-usul desa dalam penyelenggaraan pembangunan desa di Indonesia.
Untuk pemberkuat dan perjelas topik, maka ada sejumlah narasumber yang didatangkan, diantaranya ada, Abdi Akbar (Direktur perluasan Partisipasi Politik Masyarakat Adat), Baso ‘Gandangsura’ (Kepala Desa Bonelemo), Yasir Sani (Kemitraan), Sugito Jaya Saentika S.Sos, M.H (Dirjen Pembangunan Desa dan Pendesaan), serta beberapa narasumber lainnya.
Setiap materi telah disampaikan secara jelas dan lugas oleh para narasumber atau pemateri. Dari penyampaian materi-materi tersebut terkuak mengenai pentingnya perlindungan hak-hak masyarakat adat, termasuk hal atas wilayah tanah dan hutan.
Salah satu pemateri dari Dirjen Pembangunan Desa dan Pedesaan pada Kementerian Desa (Kemendes) RI, Sugito Jaya Saentika dalam mennjelaskan tentang status desa sipil dan desa adat menyebutkan, bahwa penggunaan status tersebut di kembalikan kepada masyarakat setempat apakah ingin menggunakan desa dinas atau desa adat.
“Kami dari kementerian tidak bisa mengintervensi sampai ke desa-desa tentang pengunaan status, tetapi kami hanya bisa mengeluarkan regulasi atau ketentuan yang dalam redaksi regulasi itu kami mengatakan, penyebutannya dapat disesuaikan dengan karakter masing-masing daerah,” jelasnya.
Artinya, setiap daerah lewat kepala daerah baik gubernur, bupati/walikota bisa mengeluarkan Peraturan Daerah (Perda), Peraturan Bupati (Perbup), dan beberapa regulasi daerah lainnya yang substansinya mengatur tentang penetapan status desa, apakah desa dinas atau desa adat.
Sementara itu, salah seorang peserta KMAN VI yang juga sebagai Ketua AMAN Kalimantan Utara, Yohanis mengatakan bahwa sampai dengan saat ini pemerintah belum mampu mengatasi sejumlah permasalah desa yang terjadi di daerah-daerah.
Dirinya mencontohkan, bahwa di Kalimantan Utara, Kabupaten Bulungan sampai dengan saat ini masih menemui sebuah persoalan yang tidak mampu diselesai pemerintah, yaitu persoalan mengenai desa dalam desa yang mana telah terjadi diskriminasi terhadap tujuh belas kampung.
“Yang mana pada tahun 1972 akibat dari keluarnya Inpres dan Surpres, telah terjadi pemindahan secara paksa penduduk setempat dari satu lokasi ke lokasi lain dan membentuk desa. Artinya bahwa, sampai dengan saat ini persoalan mengenai hak-hak masyarakat adat dalam suatu desa belum sepenuhnya terpenuhi,” pungkasnya.
Diketahui, ada banyak perbedaan dan permasalahan desa di setiap daerah di nusantara saat pembahasan topik, namun sesungguhnya semua komponen lewat KMAN VI di Tanah Tabi-Papua hendaknya melahirkan rekomendasi sebagai solusi untuk mengatasi masalah-masalah itu.