Jayapura — Pemerintah propinsi Papua diminta agar segera memastikan status kartu Papua sehat. Hal ini disampaikan oleh Direktur RSUD Badan Layanan Umum Daerah (BLUD) Nabire, dr. Andreas Pekey, Sp.D.
“Pemerintah Provinsi Papua harus memberikan status hukum pasti terkait keberadaan program pelayanan kesehatan gratis bagi masyarakat asli Papua yang tidak mampu bertajuk Kartu Papua Sehat (KPS). Sebab sejak 2020, dana KPS tidak ditransfer ke rumah sakit-rumah sakit di Papua,” ujar dr. Andreas.
“Umumkan saja bahwa mulai saat ini KPS tidak berlaku bagi seluruh masyarakat Papua. Sehingga masyarakat Papua yang benar-benar tidak mampu, pemerintah daerah di kabupaten/kota ambil langkah bagaimana juga supaya ketika masyarakat pengguna KPS datang berobat ke rumah sakit, kami bisa tunjukkan surat resmi dari provinsi bahwa KPS tidak dpakai lagi. Jangan biarkan mengambang, seolah-olah tetap ada, tapi dananya tidak ada lagi,” ujar dr Andreas.
Menurut Andreas, RSUD Nabire menerima dana KPS dari Provinsi Papua itu terakhir tahun 2019. Tahun 2020 hanya ada Pergub yang muncul tetapi dananya tidak ditransfer hingga hari ini.
Hal yang sama terjadi di rumah sakit regional lain seperti RSUD Biak, Wamena, Merauke dan Timika.
“Sementara sepanjang tahun 2020 itu, pelayanan gratis bagi Orang Asli Papua (OAP) peserta KPS tetap kami jalankan. Kami di rumah sakit kan harus keluarkan uang untuk obat, makanan, bahan habis pakai, reagen maupun jasa. Jadi setahun ini kami mengutang. Dengan harapan, ketika akhir tahun 2020 dana KPS ditransfer akan menutupnya. Kenyataannya tidak demikian. Sampai hari ini belum bayar,” tegas Andreas.
Andreas membeberkan, berdasarkan data sekitar 55 persen pasien yang datang berobat di RSUD Nabire adalah pengguna KPS, sedangkan pengguna BPJS sekitar 35 persen. Sisanya pasien swasta yang bayar secara mandiri tanpa jaminan kesehatan.
“Untuk melayani pasien BPJS saja, kita memutar uang kurang lebih Rp 20 milyaran lebih, baik untuk obat-obatan, bahan habis pakai, bahan kimia dan jasa. Jadi kalau pengguna KPS di kami sampai 55 persen, tentu banyak sekali dana yang kami keluarkan. Jadi istilahnya kita pemasukan 45 persen untuk layani 55 persen. Ini kan tidak seimbang. Tetapi secara kemanusiaan, kita tidak tega. Harus layani masyarakat yang tidak mampu,” tegasnya.
Oleh karena itu, menurut Andreas, Pemerintah Provinsi Papua harus segera memberikan kepastian status KPS ini. Jika memang KPS dihilangkan, maka harus ada pemberitahuan melalui surat resmi kepada semua rumah sakit di Papua, termasuk RSUD BLUD Nabire.
Mengingat RSUD Nabire sebagai rumah sakit regional melayani pasien di wilayah Meepago, Andreas berharap Pemda di luar Nabire seperti Paniai, Dogiyai, Deiyai dan Intan Jaya ke depan bisa mengambil kebijakan untuk menolong masyarakat tidak mampu yang dirujuk ke rumah sakit yang dipimpinnya.
“Kita berharap pemda di luar Nabire ini bisa menyiapkan dananya kepada kami. Sehingga ketika masyarakatnya ada yang sakit dan berobat ke rumah sakit kami, cukup tunjukkan KTP-nya. Ini wacana alternatif yang akan kami tempuh ke depan,” tutupnya.
Untuk diketahui, hingga hari ini, rencana integrasi Jaminan Kesehatan Nasional-Kartu Indonesia Sehat (JKN-KIS) dengan Kartu Papua Sehat (KPS) belum terwujud.
Menurut Asisten Deputi Bidang Pengelolaan Kinerja Kantor Cabang Badan Penyelenggara Jaminan Sosial (BPJS) Kesehatan Kedeputian Wilayah Papua dan Papua Barat, Ario Pambudi Trisnowibowo. Kendala utama sejak dulu ialah ialah masalah data para peserta dimana masih banyak Nomor Induk Kependudukan (NIK) yang belum tervalidasi. Artinya, NIK yang database-nya di daerah masih belum ada di data pusat.