Jayapura, – Hari ini semua pihak dan tokoh masyarakat serta sejumlah lembaga gencar membicarakan Otonomi Khusus (Otsus). Bahkan semua sudah mulai membuat pernyataan, baik secara langsung maupun tidak langsung terkait berakhirnya Otsus tahun 2001.
Untuk itu, salah satu anggota Komisi I DPR Papua yang memdidangi Pemerintahan, Politik, Hukum dan HAM, Laurenzus Kadepa meminta Panitia Khusus Otonomi Khusus (Pansus Otsus) DPR Papua untuk harus hati-hati dalam bekerja dan tidak gegabah dalam mengambil keputusan.
“Saya meminta kepada Pansus Otsus agar hati-hati dalam bekerja. Karena ini sebuah misi yang mana semua kepentingan sedang buka mata, dari semua kelompok yang korban dari Otsus maupun yang diuntungkan dari Otsus, sedang menatap Pansus Otsus DPR Papua,” kata Laurenzus Kadepa kepada sejumlah Wartawan di ruang kerjanya, Selasa (27/7).
Bahkan tandas Kadepa, Pansus Otsus DPR Papua harus pro kepada suara korban. Korban yang dimaksud dalam hal ini adalah korban dari kelompok yang mengatakan Otsus gagal dan meminta referendum serta kelompok yang menyatakan Otsus berhasil dan NKRI harga mati.
“Jadi, Pansus Otsus DPR Papua ini harus hadir ditengah-tengah dan harus pro suara korban dari kedua kelompok itu, terutama dari sisi kemanusiaan,” tandas Politisi Partai NasDem itu.
Menurutnya, Pansus Otsus DPR Papua harus mengambil jalan tengah, artinya berdiri di tengah dan pro ke masalah kemanusiaan dan mengedepankan kemanusiaan danb juga suara korban dari kedua kelompok itu. Itu yang perlu didengar.
Apalagi kata Kadepa, sesuai Pasal 77 UU Otsus jika dalam Rapat Dengar Pendapat (RDP), masyarakat meminta merdeka atau referendum juga. Kata Kadepa, itu tidak langsung serta merta Papua merdeka, karena ini merupakan sebuah negara yang tentu harus mengikuti aturan.
“Jadi, bagian ini, pemerintah saya juga minta jangan menanggapi itu dengan serius atau menanggapi dengan operasi militer, karena nanti jika RDP itu merdeka,” ketusnya.
Sebab, lanjut Kadepa, hal itu semata-mata untuk menghargai pendapat masyarakat dan menjadikan ini sebagai bagain dari demokrasi. Karena masyarakat langsung menyuarakan melalui RDP dan memutuskan referendum misalnya, maka itupun tidak langsung serta merta Papua merdeka, karena ini negara besar. Jadi, melihat suatu masalah harus dengan jiwa yang besar.
Menurut legislator Papua ini, mestinya masyarakat diberikan ruang atau kebebasan untuk menyampaikan pendapat sesuai dengan pasal yang sudah ada, agar dikemudian hari tidak menjadi masalah.
“Jadi disini saya mewakili dari Komisi I DPR Papua, saya berada di posisi tengah yakni posisi korban dari kedua belah pihak, yakni kemanusiaan,” jelasnya.
Laurenz Kadepa pun meminta pemerintah pusat agar rancangan UU Otsus yang dibuat sepihak yang saat ini masuk prolegnas DPR RI agar itu dibatalkan.
“Saya berharap rancangan Otsus yang saat ini masuk prolegnas DPR RI, kalau boleh dibatalkan dan minta pendapat Gubernur, DPR Papua. Itu lebih bagus,” tekannya.
“Apakah itu RUU Otsus Plus draft ke 14, saya tidak tahu. Tapi itu versi mereka, versi Mendagri atau apa. Namun saya minta dengan hormat agar pemerintah pusat segera membatalkan dan kembali koordinasikan kepada gubernur, DPR Papua dan MRP,” timpalnya.
Diakui, jika saat ini terkait UU Otsus menjadi pro kontra bagi semua pihak di Papua, terkait pendapat mereka soal berakhirnya Otsus di tahun 2021 yang ada di Papua sejak tahun 2001.
Ditegaskannya, pada tahun 2001, Otsus ada di Papua bukan karena niat baik pemerintah pusat, tapi hanya karena adanya tuntutan politik, maka sebagai solusi jalan tengah pemerintah memberikan kebijakan khusus untuk Papua. Itu sama kebijakan yang diberikan di Aceh, Jogja dan DKI Jakarta.
Namun, kata Kadepa, itu hanya sebagai implementasinya dari daerah-daerah yang menerima Otsus di Indonesia, tapi ternyata di Papua berbeda.
“Bedanya dimana? Contohnya dari sisi proses penyelesaian Aceh beda dengan Papua. Kalau masalah Aceh dulu pernah melibatkan pihak ketiga yakni Eropa, Helsinky. Jadi, setelah perundangan di Helsinky, pelaksanaan Otsus di Aceh kami lihat berjalan baik. Beberapa kali DPRD Aceh dari partai lokal ke Papua, mereka sampaikan progress Otsus di Aceh,” bebernya.
Bahkan ungkap Kadepa, di Aceh sudah ada KKR, sudah ada partai lokal dan lainnya. Untuk itu, pihaknya pun mempertanyakan kenapa di Papua tidak bisa seperti di Aceh, yang ada partai lokal, KKR dan lainnya. Sedangkan di Papua baru ada 14 kursi DPR Papua.
“Terus kenapa KKR dibatalkan oleh Mahkamah Kontitusi (MK)?. Kenapa Pengadilan HAM tidak ada di Papua, hanya di Surabaya, Makassar dan Jakarta. Sehingga hal-hal itu membuat banyak lembaga, organisasi, secara individu, tokoh masyarakat mengatakan kalau Otsus gagal. Itu dari kelompok yang sudah mengikuti perkembangan. Lalu ada kelompok juga yanh mengatakan Otsus berhasil, karena melihat dari sisi dananya yang banyak, lalu dananya sampai ke petinggi-petinggi daerah di Papua, tapi hanya penggunaan anggaran yang tidak beres. Kebijakan Otsus bagus, tapi penerapan yang perlu dirubah,” tegas Laurenzus Kadepa.
Ia menambahkan, terkait Otsus saat ini memang ada pendapat yang berbeda dari berbagai kelompok. Hanya saja kata Kadepa, jika hal itu wajar saja.