Timika, – Empat kepala kampung yang wilayahnya tertimpa bencana longsor yakni Baluni, Jagamin, Anggigi dan Omponi pada Minggu (3/8) diterbangkan ke Aroanop, Tembagapura.
Wakil Bupati Mimika, Johannes Rettob Minggu pagi saat ditemui di Gereja Sempan juga membenarkan pemberangkatan keempatnya.
Ia menyebut berdasarkan laporan sementara musibah tanah longsor di empat kampung di kawasan Aroanop, Distrik Tembagapura pada Kamis (30/7) malam mengakibatkan sedikitnya delapan rumah warga dan gedung sekolah tertimbun.
Selain itu, juga dilaporkan enam jembatan gantung yang dibangun oleh pihak perusahaan terputus.
Informasi sementara yang disampaikan masyarakat bahwa ada enam jembatan gantung putus, delapan rumah serta gedung sekolah tertimbun,” ujar John Rettob di Timika, Minggu.
Sehari sebelumnya Wabup Mimika John Rettob menggelar pertemuan dengan sejumlah kepala kampung serta tokoh masyarakat Aroanop di kawasan Djayanti, Distrik Kuala Kencana.
Pertemuan itu memutuskan bahwa empat kepala kampung di kawasan Aroanop yang terdampak bencana longsor yaitu Kepala Kampung Jagamin, Baluni, Omponi dan Anggigi harus segera bertolak menuju Aroanop pada Minggu ini atau paling lambat pada Senin (3/8) dengan menggunakan armada helikopter.
Para kepala kampung itu didampingi oleh Kepala Distrik Tembagapura Thobias Jawame.
Kawasan Aroanop dan sejumlah kampung di dataran tinggi Kabupaten Mimika hanya bisa dijangkau satu-satunya dengan transportasi udara melalui helikopter.
Namun penerbangan helikopter ke lokasi bencana itu terkendala akibat kondisi cuaca yang tidak bersahabat dalam beberapa waktu terakhir.
“Sangat tergantung dengan kondisi cuaca, kalau esok pagi cuaca bagus kami harapkan mereka semua bisa berangkat ke Aroanop. Semua ini difasilitasi oleh Pemda Mimika,” kata John.
Dijelaskannya pula saat ini Pemkab Mimika, belum bisa memastikan total kerugian akibat bencana tanah longsor disertai banjir bandang di wilayah Aroanop maupun Tsinga, Distrik Tembagapura.
Satu-satunya akses informasi ke lokasi bencana dari Timika hanya melalui saluran telepon, dimana warga di lokasi bencana harus berjalan kaki naik turun gunung dan hutan berkilo-kilo meter dari kampung mereka untuk mencari sinyal telepon.